74 TAHUN lalu, Jepang sangat terpuruk. Kota Nagasaki dan Hirosima hancur di bom oleh sekutu Amerika.
Satu pertanyaan Kaisar Hirohitu yang sangat menarik hingga saat ini ialah "Berapa jumlah guru yang tersisa?".
Hal yang pertama dikumpulkan untuk memulai membangun ialah guru. Terbukti, tidak sampai setengah abad, Jepang bisa bangkit dan menjadi negara maju. Itu karena peran guru.
Seharusnya bangsa Indonesia juga belajar dari kisah Jepang.
Karena hanya berselang delapan hari bom di Nagasaki, Ir. Soekarno membacakan pidato proklamasi sebagai pertanda bahwa bangsa Indonesia merdeka.
Tetapi apa yang terjadi sekarang? bangsa Indonesia tertinggal dari Jepang. Mungkin bangsa Indonesia tidak mencari guru atau mungkin guru ada, tetapi belum sejahtera.
25 November kemarin diperingati sebagai hari guru nasional. Sebelumnya juga ada hari guru internasional yakni pada 5 Oktober.
Namun mungkin telah dilupakan karena bertepatan dengan hari lahir Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Tepat 100 hari pasca proklamasi, terbentuk Persatuan Guru Republik Indonesia atau PGRI sebagai cikal bakal munculnya Hari Guru Nasional.
Bapak Kihadjar Dewantara yang menjabat sebagai menteri pengajaran kala itu dikenang sebagai bapak pendidikan.
Guru merupakan aktor utama dalam proses pembelajaran di sekolah. Meskipun sarana dan prasarana lengkap, jika tidak ada guru, proses pembelajaran pun tidak akan berjalan dengan baik.
Begitupun dengan kurikulum yang hampir setiap menteri juga diganti. Sebagus bagaimanapun kurikulumnya, jika guru yang tidak berkualitas, maka lulusannya pun bisa dipastikan kurang berkualitas.
Berbeda halnya, jika sang guru memiliki kualitas mendidik yang baik, meskipun sarana dan prasarana kurang, meskipun kurikulum biasa saja, bisa diprediksi akan menghasilkan lulusan yang berkualitas.
Ibarat sebuah rumah, tiang sebagai penyangga merupakan guru. Sebagai pondasi pendidikan sesungguhnya ialah guru.
Selama ini, semakin hari, penghargaan kepada sang guru semakin menurun.
Guru tidak lagi dipandang sebagai sosok manusia yang serba bisa sekaligus memiliki kewibawaan di hadapan masyarakat apalagi siswanya.
Hal ini sangat berbeda sekali dengan pada zaman orde baru. Jika mendengar cerita orang tua, posisi guru pada awal kemerdekaan sangat terhormat dan prestisius.
Sejak kemerdekaan hingga saat ini, hampir setiap presiden mengganti menteri pendidikan. Dan hampir setiap menteri baru membuat kebijakan baru. Dan yang paling sering terjadi ialah perombakan kurikulum.
Semoga kebijakan yang diambil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim bisa langsung memperbaiki pondasi pendidikan yakni guru.
Membuat guru sejahtera dan memperbaiki kualitasnya.
Jika guru mendidik dalam kondisi bahagia, pasti bisa fokus dan nyaman dalam mendidik.
Sebaliknya, jika guru dalam kondisi serba kekurangan, gaji pas-pasan, dan banyaknya beban tugas lain selain mendidik, bisa membuat guru menjadi stres, dan malas mendidik para generasi penerus bangsa.
Selamat Hari guru dari sabang sampai merauke. Khususnya saya menyampaikan terima kasih banyak kepada guru-guru:
- MIS DDI Sakeang
- MIS Al-Khaeraat Kanawu
- SMPN Satu Atap Maradindo
- SMK Kristen Bala Keselamatan Palu
- Jurusan Pendidikan Teknik Otomotif, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Makassar
yang telah banyak memberikan perubahan dalam hidup saya. Tanpa kalian, mungkin saya tidak seperti sekarang ini.(*)