Keponakan (Ahmad Rayyan) |
“Kapan lagi
turun sini,” kata Ibu melalui sambungan telepon, Sabtu, 14 Maret lalu.
“Kurang
taumi juga ini, karena ada kegiatanku sekarang. Kalau selesai mi, turun meka (pulang
ke rumah di Maros),” jawabku.
“Ow iye pale
nak. Jaga kesehatan, jangan lambat makan,” tutupnya dengan suara serak basah
disertai batuk.
Suara Ibu
saat itu menandakan bahwa ia sedang sakit. Ingin langsung pulang, tetapi sudah
terlanjur mendaftar dan mengikuti Training For Peace Educator di KITA Bhinneka Tunggal Ika.
Training
yang saya ikuti ini berlangsung selama dua hari, 14 dan 15 Maret. Selain itu,
malam harinya (malam Minggu dan malam Senin) saya juga memiliki agenda rapat
persiapan kepanitian di organisasi yang pernah saya geluti di UNM.
Bisa
dibilang saya cukup manja dan dekat dengan keluarga. Ibu, ayah, dan semua
saudara. Mungkin karena saya anak bungsu. Selain itu, sejak SMK saya memang
sudah jarang bertemu dengan keluarga. Waktu itu, saya sekolah di Kota Palu dan
keluarga tinggal di kampung . Hal tersebut berlangsung hingga sekarang.
Setelah menyelesaikan
semua agenda dan tugas di Makassar, Senin pagi saya langsung prepare dan pulang
kampung. Mengendarai sepeda motor yang selalu mengantar saya kemanapun, Jupiter
MX.
Hehe pulang
kampung saya tidak jauh sih. Tidak seperti orang pulang kampung pada umumnya
yang melewati beberapa kabupaten bahkan pulau.
Saat tiba di
Dusun Balocci, alamat rumah saya, terlebih dulu saya singgah di rumah nenek dan
tante. Rumah yang dulu saya tempati sewaktu pertama datang dari Palu.
Yah, waktu
itu, tahun 2015, orangtua dan saudara masih tinggal di Palu. Hanya saya yang ke
Makassar untuk melanjutkan kuliah di UNM.
Di rumah itu
saya sejenak bercengkrama dengan nenek, tante, om, sepupu, dan keponakan yang
baru berusia setahun lebih. Ini merupakan salah satu kebiasaan saya saat pulang
kampung. Meski hanya satu malam, setidaknya saya sempatkan waktu untuk silaturahmi
dengan semua keluarga.
“Mau meko
lagi naik di Makassar?” tanya nenek.
“Ye’
belumpi. Hehehe baruka datang,” jawabku tersenyum.
“Berapa
lamako mau bermalam di sini, atau mau meko lagi naik besok?” tanyanya lagi.
Hampir
setiap saya pulang ke kampung, sanak keluarga selalu menanyakan waktu saya
tinggal berapa hari dan sebagainya. Hal tersebut sudah biasa pasalnya selama
kuliah, lebih khususnya saat masuk organisasi di kampus, saya sangat jarang
pulang kampung apalagi sampai bermalam satu minggu.
Setiap saya pulang,
paling hanya satu atau dua malam saja. Paling lama satu minggu. Itu biasanya
ketika hari raya idul fitri atau idul adha.
“Orang di
rumahmu sakit semua, mamamu, kakamu, iparmu, sama anaknya sakit semuai. Bapakmu
mami yang sehat,” kata nenek.
Memang,
sekitar tiga minggu lalu, waktu saya pulang, kakak perempuan saya dan anaknya
yang belum cukup satu tahun juga sakit. Waktu saya juga sempat membelikannya
obat hufagripp di Makassar.
Sekitar satu
jam di rumah tante, saya baru langsung ke rumah. Jaraknya hanya sekitar 200 m.
Di perjalanan saya juga melewati MIS DDI Sakeang. Tempat saya sekolah waktu
kelas 1 dan 2. Yah, saya sekolah di madrasah tersebut hanya dua tahun.
Selebihnya pendidikan saya selesaikan di Palu, Sulawesi Tengah.
Di depan
sekolah, beberapa orang tua sedang duduk di atas motor sambil main gadget. Ada
juga yang masih remaja. Saya yakin mereka adalah orangtua siswa atau saudara
siswa yang sedang menunggu anak atau adiknya pulang. Pasalnya waktu itu sekitar
pukul 11.00. Memang jam pulang siswa kelas 1.
Berbeda
dengan di Kota Makassar. Semua siswa diimbau untuk tidak masuk sekolah. Dengan
kata lain mereka libur. Hal tersebut karena adanya wabah virus corona yang
menyebar dengan cepat. Tetapi di kampung, semua siswa tetap sekolah. Mungkin
karena daerah yang jauh dari perkotaan sehingga virus corona sulit
menjangkaunya.
Dari
kejauhan, bapak sudah tersenyum melihat saya saat hampir sampai di rumah. Saat
itu ia sedang memangkas ranting pohon mangga di depan rumah yang sudah mulai
rimbun.
Kakak
perempuan saya sedang menyapu. Kakak ipar saya sedang tidur, karena juga sedang
sakit. Dan ibu sedang menjaga cucunya di samping rumah.
Senang
akhirnya bisa lagi bertemu dengan Ibu meski kondisinya dalam keadaan kurang
sehat. Begitupun sebaliknya. Senang bisa berkumpul lagi bersama keluarga.
Alhamdulillah,
saudara perempuan dan anaknya sudah sehat. Tinggal ibu dan kakak ipar. Meski
sekarang sedang marak wabah virus corona, keluarga saya sakit bukan karena
virus tersebut. Hanya flu dan batuk-batuk saja.
Mungkin
karena iklim yang berubah-ubah. Sejak di Makassar, beberapa hari ini cuaca
cerah. Dan ketika di Maros, hujan lebat masih turun.
Suasana
cukup berbeda dengan di Makassar yang penuh dengan polusi. Di Maros, saya bisa
menikmati jagung rebus dalam suasana dingin karena hujan.
Bermain
bersama keponakan yang baru berusia 10 bulan. Sangat bahagia rasanya.