Massula’ Jagung di Kebun Bersama Bapak dan Ibu

Selepas Salat Subuh, suasana masih sangat pagi. Fajar mulai menyingsing. Bapak sudah berangkat ke kebun.

Mencangkul
Mencangkul.

SELEPAS Salat Subuh, suasana masih sangat pagi. Fajar mulai menyingsing. Bapak sudah berangkat ke kebun. 

Kembali menanami kebun, bagian-bagian yang jagungnya tidak tumbuh. Karena tidak semua jagung yang kami tanam beberapa hari lalu tumbuh dengan baik.

Mungkin karena pengaruh cuaca yang kurang bagus. Beberapa hari sangat panas. Kemudian angin kencang melanda. Lalu, hujan baru menyapa kemarin.

Atau pengaruh tanah yang kurang bagus, atau bibit jagungnya yang kurang bagus, atau mungkin saja ada binatang lain yang mengganggu biji jagung yang kami tanam sehingga ada yang tidak tumbuh. Jumlahnya tidak sedikit.

Perkiraan bapak saya adalah bibit jagung yang kurang bagus. Karena, yang kami tanam lalu adalah bibit yang baru. Untuk menanam ulang, kami memilih bibit jagung yang hasil panen sendiri.

Menanam jagung
Menanam jagung.

Itu hanya perkiraan berdasarkan pengalaman ataupun kejadian-kejadian yang telah berlalu. Beberapa cendekiawan mengatakan seperti itu, bahwa apa yang terjadi hari ini adalah efek apa yang kita lakukan dihari-hari kemarin. Sehingga untuk meramalkan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, adalah dengan memperhatikan dan memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi hari ini.

Tapi perlu kita ketahui bahwa akal dan pikiran kita terbatas. Banyak tanda yang kadang tidak terpikirkan dan tidak terbaca. Oleh karena itu, selain membaca tanda-tanda atau lebih tepatnya pesan Tuhan yang terjadi, juga perlu namanya ikhtiar serta berdoa kepada-Nya. Karena segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak-Nya. Dan tetap berpedoman pada Al-Quran. Karena dalam kitab suci ini, ada begitu banyak petunjuk yang difirmankan.

Mengeluh, menyalahkan orang lain, apalagi menyalahkan keadaan adalah hal yang sangat tidak tepat. “Kita tanami lagi kalau tidak tumbuh. Yang penting kita tetap berusaha,” kata bapak.

Bapak mencangkul
Bapak mencangkul.

Dalam Al-Quran, banyak ayat yang menjelaskan tentang tanda-tanda peristiwa alam. Pada ayat yang pertama kali diturunkan pun, kita diperintahkan untuk membaca. Bukan hanya sekadar membaca tulisan, tetapi lebih penting adalah membaca pesan Tuhan yang ada dalam semesta ini.

Surah Al-Waqiah misalnya. Surah ke-56 ayat (63-67), Allah berfirman. “Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkan? Sekiranya Kami kehendaki, niscaya Kami hancurkan sampai lumat; maka kamu akan heran tercengang, (sambil berkata) “Sungguh, kami benar-benar menderita kerugian, bahkan kami tidak mendapat hasil apapun.”

Tentu makna ayat tersebut masih sebatas pengertian secara harfiah. Bisa jadi ada makna, maksud, dan tujuan yang lebih indah dari ayat tersebut.

Tapi secara harfiah, kita bisa memaknai bahwa tanaman yang kita tanam bisa tumbuh atas kehendak-Nya. Sehingga tidak pantas kita mengeluh, apalagi menyalahkan keadaan. Bisa jadi, ada pesan Tuhan yang ingin disampaikan dari tanaman yang belum tumbuh. Mungkin saja Tuhan ingin menguji kesabaran, kesungguhan, dan rasa syukur kita. Wallahu A’lam.

Saya sedikit terlambat menyusul bapak. Tadi malam, kakak perempuan saya dinas malam di Puskesmas Tompobulu. Ia bekerja sebagai perawat honorer di sana.

Sehingga, terlebih dulu saya menjemputnya sebelum ke kebun membantu bapak tanam jagung. Jaraknya tidak jauh. Hanya sekitar 10 menit menggunakan sepeda motor.

Saat menyusul bapak ke kebun, lubang-lubang kosong sudah banyak dan siap untuk ditanami jagung. Pas tiba, saya tinggal langsung mengisi lubang-lubang tersebut dengan dua biji jagung lalu menimbunnya kembali.

Tanah tersebut dilubangi menggunakan kayu yang setinggi badan yang ujungnya dibuat runcing. Kami menyebutnya macceccu. Hehe.

Berbeda dengan waktu menanam pertama kali. Saya, bapak, dan ibu kadang bergantian mencangkul untuk menggali tanah lalu mengisi jagung dan menimbunnya kembali. Tapi itu lebih sering dilakukan oleh bapak. Saya dan ibu yang menanam.

Saat bapak sudah mengeluarkan banyak energi, butiran keringat mulai keluar hingga sebesar biji jagung. Saat itu, baju yang digunakan di lepas dan diikatkan di leher. Kadang juga di simpan di pohon kayu yang mati. Di bawah terik matahari, punggung telanjang mulai mengkilat.

Semangat dan daya tahan tubuhnya masih kuat meski sedang berpuasa. Intensitas istrahat saya dengan bapak kira-kira dua banding satu. Padahal badan saya jauh lebih segar dan bugar. Tapi apalah dayaku yang sangat jarang mengerjakan pekerjaan seperti ini. 

Apalagi di bulan ramadhan. Selama empat tahun berturut-turut, rutinitas saya di bulan ramadhan selalu disibukkan dengan tugas kampus dan organisasi. Bahkan tahun lalu, saya tidak sempat menikmati sahur dan buka bersama keluarga. Saya pulang pas malam takbiran.

Hari ini pekerjaan menanam jagung tidak terlalu melelahkan. Selain hanya karena mengisi bagian yang kosong (massula’), cuaca juga cukup mendukung di lima hari terakhir ramadhan. Mendung. Cahaya mentari kadang hanya bersinar lembut ke badan yang masih merasakan dinginnya suasana embun pagi.

Rayyan
Rayyan.

Rayyan, keponakan saya yang baru berusia tepat 1 tahun tertanggal 10 Mei lalu. Energi positif selalu terpancar dari dalam dirinya. Senyum dan tawa di bibirnya, pipinya yang tembem, badannya yang mungil, membuat rasa lelah menjadi hilang saat tiba di rumah. Bahkan saat menangis pun, ia seakan tetap memancarkan energi positif.

About the Author

Blogger pemula dari Makassar.

إرسال تعليق

Tinggalkan komentar di bawah ini dan bagikan pendapat Anda tentang artikel di atas.