MENGGUNAKAN kata kita itu seperti menumbuhkan perdamaian dalam diri dan lingkungan. Kita sarat makna akan kebersamaan dan persatuan.
Dalam kultur Bugis Makassar, kita adalah sinonim kau yang dimaknai lebih sopan. Biasanya diucapkan kepada orang yang lebih tua, lebih dihargai, lebih dihormati.
Saya ingat waktu kecil, orang tua saya sangat melarang menggunakan kata kau kepada orang lain. Apalagi kepada orang tua.
Kata mereka, hanya monyet yang bilang kau. Jika saya mengatakan kau kepada orang lain, sama saja saya adalah monyet. Bahkan lebih sadis, saya sampai dikatakan berdosa, jika mengatakan kau kepada orang tua.
Dalam percakapan orang Bugis Makassar, kami merasa dihargai jika dalam percakapan disapa kita. Dan akan merasa tidak dihargai, jika ada anak muda yang mengatakan kau, apalagi kepada orang yang memiliki gelar andi, puang, karaeng, dan sebagainya.
Itu secuil makna kita dalam suku Bugis Makassar. Dalam lingkup yang lebih luas, di Indonesia khususnya, kita bisa dimaknai sebagai kebersamaan dan persatuan.
Seribu satu macam suku, budaya, bahasa, ada di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Dan itu semua dipersatukan dengan kita dalam simbol Bhinneka Tunggal Ika.
Meskipun berbeda-beda, kita tetap satu, Indonesia. Saya juga memaknai satu itu sebagai manusia dan juga segala ciptaan Tuhan.
Dengan menggunakan kata kita dalam sebuah organisasi, kelompok, bangsa, manusia, makhluk hidup, hingga yang ada di seluruh alam, saya yakin tidak akan ada konflik sesama manusia, pun tidak akan merusak alam.
Hanya saja sering kita melupakan kata ini. Kelompok saya dan kalian, bangsaku dan bangsamu, hingga saya manusia dan itu alam yang sering menciptakan konflik dan kerusakan di mana-mana.
Dua insan yang bersatu, tidak lagi mengatakan aku dan kamu, tetapi menyatu menjadi kita.
Urusan aku dan urusan kamu menjadi urusan kita. Masalahmu dan masalahku menjadi masalah kita.
Seandainya dua insan ini dibawa ke dua bangsa atau lebih, masalah bangsa kalian adalah masalah bangsa kami. Pun jika dibawa ke alam. Masalah alam adalah masalah manusia juga.
Begitu indahnya kata kita dalam berkomunikasi, kerjasama, dan segala hal dalam hidup ini. Tetapi masih banyak diantara kita yang tidak menyukai ungkapan ini.
Suatu ketika, saat saya mengikuti sebuah training di salah satu komunitas perdamaian di Kota Makassar, seorang peserta bertanya bagaimana cara menumbuhkan rasa kepedulian dalam diri untuk menolong sesama.
Sebagai contoh, ketika ada orang yang tidak dikenal kecelakaan di jalan, banyak orang yang hanya mengabaikannya.
Atau ketika ada seorang anak kecil yang dibully atau disakiti oleh orang dewasa, banyak orang yang cenderung hanya mengabaikannya.
Mungkin dalam pikirannya sedang bimbang untuk membantu atau tidak. Itu kan orang lain.
Lalu bagaimana jika itu keluarga kita yang diperlakukan seperti itu? Pasti ada rasa muncul dari dalam diri untuk membantu, menolong, hingga mendamaikan.
Ketika saya merantau ke Palu (Sulawesi Tengah), bergabung dengan kelompok penduduk asli yang memiliki budaya yang berbeda dengan Sulawesi Selatan, saya bisa merasakan kebersamaan orang Bugis Makassar di kampung tersebut.
Saling tolong menolong dan saling membantu. Rasa untuk saling tolong menolong dan membantu muncul karena ada rasa kekitaan muncul dalam diri masing-masing. Kita sama-sama orang Bugis Makassar dan kita sama-sama perantau.
Kalau bukan sesama kita, siapa lagi yang akan membantu. Itu jelas.
Kerusakan alam banyak terjadi, karena manusia hanya mementingkan dirinya sendiri. Serakah.
Sebagian manusia tidak sadar bahwa kita (manusia dan alam) sama-sama ciptaan Tuhan yang saling membutuhkan. Manusia membutuhkan alam untuk kelangsungan hidup.
Pada dasarnya kita semua adalah sama. Kita semua ciptaan-Nya. Dengan menyadari itu, saya yakin, akan tercipta perdamaian di muka bumi ini.
Mari kita sama-sama menumbuhkan nilai kekitaan dalam diri kita. Sedikit refleksi tentang kehidupan. Semoga bermanfaat.(*)