Suasana nonton bareng The End Game di Kopi Batas, Gowa. |
"Pemberhentian 75 pegawai KPK bukan hanya persoalan internal institusi pemberantasan korupsi itu sendiri. Tapi ada persoalan bangsa ini yang lebih besar," kata salah satu pemantik diskusi setelah nobar the End Game di Kopi Batas Makassar, Minggu, 6 Juni 2021.
Film dokumenter yang disutradarai Dandy Laksono itu menyajikan hasil interview dengan beberapa pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan. 24 orang masih bisa dibina, dan selebihnya tidak.
Dalam kasus ini, terdapat banyak keganjalan yang jelas terjadi. Berbagai macam pertanyaan TWK yang tidak berkorelasi dengan pemberantasan korupsi, malah lebih menyudutkan agama bahkan pelecehan kepada perempuan.
Selain pertanyaan yang mengganjal saat TWK, interview dalam film yang telah di tonton di lebih dari 1000 titik di Indonesia itu, menyajikan beberapa kasus besar yang pernah diungkap oleh mereka yang dipecat. Seperti kasus cicak versus buaya, rekening gendut, dan sejumlah OTT terhadap petinggi kepolisian hingga berskala menteri.
Di akhir film itu, mereka yang diinterview menceritakan identitas dan backgroun pribadi. Seperti pendidikan dan pekerjaan sebelum masuk ke KPK.
Sebelum bergabung ke KPK, ada beberapa background pekerjaan, seperti polisi, jurnalis, dan organisasi keagamaan. Semua melepas pekerjaan dan organisasi saat masuk ke KPK guna menghindari adanya kepentingannya dalam menangani kasus.
Bagi mereka, bekerja di KPK memiliki tantangan yang lebih besar dan manfaat yang lebih besar. Bukan persoalan gaji. Karena beberapa memiliki gaji yang lebih besar di tempat pekerjaan sebelumnya dibanding saat di KPK.
Pamflet nonton bareng The End Game. |
Film yang tayang perdana 5 Juni 2021 ini berusaha menyajikan fakta berdasarkan interview dengan mereka yang dipecat dan dikaitkan dengan pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Pihak yang berkaitan dengan kasus yang pernah ditangani ataupun yang sedang ditangani.
Berdasarkan alur interview dan hasil diskusi saat nobar, dapat disimpulkan bahwa mereka yang tidak lolos TWK, telah direncanakan oleh oknum tertentu. Bisa jadi pihak yang pernah bermasalah atau kasusnya pernah mereka tangani. Dalam kasus ini, tentu, pimpinan KPK yang memiliki tanggung jawab sebagai penyelenggara.
Menanggapi masalah ini, sejumlah masyarakat sipil, organisasi pemberantasan korupsi, dan lembaga bantuan hukum terus mengawal kasus ini. Berbagai upaya telah dilakukan. Melaporkan pimpinan KPK, meminta data dan fakta hasil TWK dibuka dan disampaikan ke publik, dan berbagai macam, namun belum mendapatkan hasil.
Menurut Faisal Djabbar, salah satu pegawai KPK yang tidak lulus TWK, yang juga menjadi pemantik diskusi saat nobar, masalah ini tidak lepas dari kepentingan partai politik. Mengingat yang terlibat dalam OTT sebagian berasal dari partai besar.
Menurutnya, ini akan berpengaruh pada pemilihan umum tahun 2024 mendatang. "Partai politik jadi epicentrum koruptor," katanya.
Selain Faisal Djabbar, dua pemantik lainnya adalah Koodinator SPAK Sulawesi Selatan Husaema Husain, dan Koordinator Div Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi ICW Almas Sjafrina. Mereka bersama penonton yang ikut nobar mendiskusikan permasalahan ini.
Pasalnya, persoalan koruptor bukan hanya urusan KPK. Melainkan urusan semua warga negara Indonesia.
Koruptor yang begitu besar sangat berampak pada kebijakan dan dirasakan langsung oleh masyarakat. Misalnya kebutuhan pokok sehari-hari yang sangat dirasakan akibat korupsi bantuan sosial. Bukan hanya kebutuhan pokok, korupsi ini juga berdampak terhadap fasilitas umum yang digunakan serta berbagai layanan masyarakat.
Oleh karena itu, sebagai masyarakat biasa, kita juga harus turut andil dalam pemberantasan korupsi. Mengingat perilaku korupsi bukan hanya terjadi di tingkat pemerintahan dan institusi tinggi di negeri ini. Tetapi perilaku korupsi sangat dekat dengan kehidupan sosial kita.
Di berbagai layanan masyarakat, kantor-kantor tempat kita mengurus KTP misalnya, bahkan di sekolah dan perguruan tinggi, masih sering kita temui oknum yang melakukan korupsi, gratifikasi, dan sebagainya agar urusan mereka bisa lancar.
Nah, sebagai masyarakat biasa, tentu kita masih kesusahan dalam melakukan advokasi hingga ke pemerintah. Namun, langkah tersebut bukan satu-satunya yang bisa kita lakukan.
Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk turut andil dalam memberantas korupsi. Minimal tindakan kecil yang bisa membawa perubahan terhadap diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sekitar.
Ketika ada calon kepala daerah yang memberikan serangan fajar agar memilihnya, kita harus berani menolak, bahkan melaporkan tindakan tersebeut. Begitupun ketika melihat perilaku-perilaku yang menyimpang di kantor-kantor pemerintahan, segera adukan.
Banyak cara yang bisa dilakukan. Ada kotak saran di kantor pemerintah, atau bisa langsung ke website atau media sosial.
Apalagi saat ini, perkembangan teknologi yang semakin canggih dengan berbagai platform media sosial, sehingga hampir tidak ada batas bagi masyarakat untuk berkomunikasi dan mengadu kepada pimpinannya.
Ada pepatah yang mengatakan, kebaikan yang dilakukan dengan tidak teroganisir, akan kalah dengan kejahatan yang dilakukan dengan terorganisir.
Terulah melakukan kebaikan. Sampaikan kebenaran walaupun pahit. #Berani Jujur HEBAT!