DAIHATSU Grandmax abu-abu parkir depan rumah sejak tadi malam. Dalam kabin bagian belakang sudah terisi barang. Tinggal tunggu supir.
Emmang baru saja pulang dari kerja jam 5 sore. Sampai di rumah, langsung mandi dan ganti baju. Dia suami kakak saya. Dia yang akan menyetir mobil ke Palu, Sulawesi Tengah. Saya siap jadi supir cadangan sampai tujuan.
Dalam mobil bagian belakang saya sama tante Radi', Farhan, dan barang. Di kursi tengah, nenek, Ikkri, dan kakak perempuan saya bersama anaknya yang belum cukup setahun. Di kursi depan, kakek dan supir, Emmang.
Kami siap pelesiran ke bumi Tadulako. Kota yang khas dengan Kaledo - akronim dari Kaki Lembu Donggala.
Kaledo adalah kaki lembu atau sapi yang direbus dan disiram kuah dalam mangkuk.
Racikan bumbu asam jawa, sere, jahe, bawang goreng, dan penyedap rasa lainnya yang menyerap ke daging tulang kaki sapi, terasa sangat nikmat di lidah.
Apalagi jika sudah dipercikkan jeruk nipis dan rica. Di situ ngana rasa depe nikmat.
Ini kali kedua saya "pulang kampung" sejak kuliah di Makassar. Terakhir saat semester dua, tahun 2016 lalu.
Saya bersama teman dan senior, rombongan naik sepeda motor dengan jarak tempuh perjalanan 766 km. Waktu itu saya singgah di rumah teman, di Mamuju. Bermalam. Kemudian lanjut ke Kota Palu, juga menginap satu malam.
Setelah itu baru lanjut ke Lindu. Sebuah kecamatan di Kabupaten Sigi yang memiliki danau terbesar kedua di Sulawesi Tengah: Danau Lindu
Danau yang berada di ketinggian 1.000 m di atas permukaan laut itu dikelilingi 3 gunung tinggi. Nokilalaki (2.357 m), Lantawungu (2.270 m), dan Tumawu (2.120 m).
Itulah alasan kecamatan tersebut susah dijangkau jaringan dan kendaraan roda empat. Karena harus menembus beberapa lapisan gunung untuk sampai ke bibir pantai.
Tapi sekarang sudah mulai berkembang. Sejak tahun lalu, jaringan dan mobil sudah mulai sampai. Tapi masih terbilang susah.
Perkembangan itu membuat saya jadi penasaran untuk segera melihat dan menikmatinya. Semua itu belum ada saat terakhir saya tinggalkan.
Di sana kampung halaman, tempat saya tumbuh besar. Tanpa jaringan dan tanpa melihat mobil. Apalagi menikmatinya. Tapi selalu rindu dengan Lindu.
Sebenarnya kali ini saya berencana mengendarai sepeda motor lagi. Seperti 5 tahun lalu.
Jupiter MX 135, motor yang setia menemani perjalanan panjang saya selama kuliah dan juga saat bekerja, beberapa komponennya sudah mulai aus. Seperti ban, gear, dan juga kanvas rem.
Minggu lalu, semua itu telah saya ganti dengan yang baru. Onderdilnya asli. Saya beli di bengkel Yamaha di Jalan Veteran.
Saya juga mengganti oli, dan memastikan sistem pendingin dan lampu indikator semua berfungsi dengan baik. Semua itu penting untuk keselamatan dalam perjalanan.
Tentu naik motor lebih menantang dan menyenangkan daripada naik bus, rental, atau pesawat yang harus melakukan tes PCR.
Bebas untuk singgah di mana saja dan menikmati setiap kabupaten di Sulsel, Sulbar, dan Sulteng, menjadi sesuatu yang seru.
Apalagi selama kuliah, saya memiliki beberapa teman yang tinggal hampir di setiap kabupaten yang saya lalui. Bisa sekaligus silaturahmi.
Kurang nikmat kalau hanya kesenangan saja. Hujan, panas, dan rasa pegal duduk di atas getaran mesin seharian penuh dan mungkin hingga tengah malam, menjadi tantangan yang buat perjalanan jadi lebih seru.
Seperti halnya kopi. Nikmat karena rasa pahit dan manis bercampur.
Sayang, saya hanya bisa berencana. Tuhan tetap yang menentukan.
Beberapa keluarga yang sebelumnya berencana ingin ikut serta naik mobil bersama kakak saya, batal berangkat karena lain hal. Sehingga mobil sewa kekurangan orang.
Jadi saya ikut ke mobil. Setidaknya saya bisa bantu beberapa hal dalam perjalanan.
Tujuan kami semua ke Lindu adalah menghadiri acara pernikahan kakak pertama saya, Darwis. Tanggal 15 November nanti akan melaksanakan akad nikah.
Kakak kedua saya, Fatma lebih dulu menikah 3 tahun lalu. Dan terakhir saya paling muda. Masih ingin belajar banyak hal. Termasuk tentang pernikahan dan urusan rumah tangga.
Darwis. Satu-satunya saudara saya laki-laki. Karena memang kami hanya bertiga bersaudara. Umurnya baru 27 tahun. Memang sudah waktunya mencari pendamping hidup. Sudah cukup lama lajang.
Pergi bekerja sendiri, tidur sendiri, cuci baju sendiri, dan kadang masak sendiri kalau sedang tidak makan di rumah tante.
Ia adalah pekerja keras. Satu-satunya penerus profesi bapak jadi petani. Sejak kecil sudah terbiasa kerja di kebun. Dia hanya lulusan SD.
Karena saat itu belum ada SMP di kampung saat ia lulus. Akhirnya kerja full time di kebun. Saya dan Fatma baru bisa membantunya sepulang sekolah atau saat libur.
Membabat rumput, menyemprot, menanam coklat dan kopi, memangkas tangkai coklat, memanen, dan masih banyak pekerjaan lainnya, termasuk membuat drainase di kebun agar tanaman tidak tergenang air saat musim hujan tiba.
Barulah saat Fatma, kakak kedua saya tamat SD, juga dibuka sekolah SMP. Masih satu atap dengan SD. Kepala sekolah SD dan SMP juga orang yang sama.
Namanya saat itu, SMPN Satu Atap Maradindo. Fatma angkatan pertama dan saya angkatan ketiga di SMP itu.
Setelah lulus SMP, Fatma, juga saya, pindah ke Kota Palu untuk lanjut SMK. Karena saat itu, belum ada SMA/SMK di kampung.
Kami meninggalkan Darwis kerja sendirian di kebun. Dia kerja keras untuk membiayai kedua adiknya sampai ahli madya dan sarjana.
Sampai sekarang Darwis masih tetap bekerja di kebun. Semua kebun bapak dia yang kerja.
Fatma memilih kerja di puskesmas sebagai perawat. Dan saya memilih mengajar di sekolah. Sama-sama di Maros. Jauh dari kampung, tempat Darwis bekerja.
Bulan lalu, kabarnya dia sudah meminang gadis. Namanya Widya. Bagi saya, beruntunglah gadis itu bertemu kakak saya yang seorang pekerja keras. Haha itu bagi saya. Bagi orang lain mungkin berbeda.
Kalau bukan Darwis, mungkin saya sama Fatma tidak bisa lanjut kuliah dan bekerja sampai sekarang.
Oleh karena itu, meskipun jauh, meskipun saya dengan Fatma dan suaminya bekerja, kami tetap berusaha agar bisa datang di salah satu momen kebahagiaannya. Walau hanya 10 hari.
Sore ini kami on the way dari rumah di Tompobulu, Maros. Semoga lancar dalam perjalanan, dan sampai di tujuan dengan selamat.
Aamiin. (*)