Ramadan Distingtif di Makassar

Kalimat Takbir, Tahlil, dan Tahmid bergema. Sejak tadi malam, pagi, siang, hingga kembali malam terus berkumandang. Di masjid, televisi, dan medsos.

Allāhu akbar, Allāhu akbar, Allāhu akbar. Lā ilāha illallāhu wallāhu akbar. Allāhu akbar wa lillāhil hamdu


KALIMAT Takbir, Tahlil, dan Tahmid bergema. Sejak tadi malam, pagi, siang, hingga kembali malam terus berkumandang. Di masjid, jalanan, televisi, YouTube, dan media sosial.

Ramadan telah berlalu. Kini kembali ke Fitri. Suci dari dosa dan salah selama ini. Itu bagi yang mengamalkan sunnah nabi dengan baik selama sebulan penuh.

Ramadan ini, cukup menantang, menyenangkan, dan distingtif bagi saya. Ada banyak hal berbeda dari tahun sebelumnya.

Bukan hanya persoalan pandemi. Bulan, waktu, dan tempat.

Saya mengawali ramadan di rumah. Spesial. Alhamdulillah masih sekeluarga lengkap. Bersama kedua orangtua, kedua saudara, kedua ipar, dan kedua ponakan.

Lengkap tiga pasang. Tersisa diriku yang bungsu. Belum memiliki pasangan.

Di awal ramadan ini, saya mencuri waktu dari tempat kerja. Sebab, sebagai pekerja media, apalagi baru sebulan, istilah libur belum ada.

Di malam hari, saat semua tugas selesai, saya sempatkan pulang kampung yang jaraknya hanya 45 km dari pusat Kota Makassar. Tentu dengan harapan tidak ada peristiwa tiba-tiba terjadi.

Meski baru sebulan tidak pulang, sangat rindu rasanya. Rindu ingin mengawali sahur dan salat subuh berjamaah. Sudah lama. Setahun yang lalu.

Apalagi kakak pertama juga baru tiba dari Palu. Ia datang bersama istrinya yang dinikahi enam bulan lalu.

Di pagi hari, saya kembali ke Makassar. Bekerja. Seperti biasanya.

Ramadan tahun ini, cukup menantang. Meski di awal puasa sempat merasakan mag. Namun tidak berlangsung lama.

Hari selanjutnya sudah mulai beradaptasi. Di bawah terik matahari ke sana kemari. Menelusuri setiap peristiwa di sudut kota.

Kebakaran, tawuran, aksi demonstrasi, hingga kasus pembunuhan terencana tak luput dari penugasan. Meski di bulan suci ramadan, ternyata kejadian seperti itu tetap saja banyak terjadi. Bahkan pelaku dan sesama korban pun adalah sesama umat muslim.

Saya cukup menikmati pekerjaan kuli tinta ini. Sejak mahasiswa dulu.

Sehingga, rasa lapar dan haus tidak terhiraukan lagi. Meskipun itu terasa.

Kadang buka puasa seadanya. Air gelas. Di tengah jalanan. Kala liputan aksi demonstrasi yang berlangsung hingga waktu berbuka puasa.

Ramadan kali ini juga, suatu waktu, saya tidak mampu menahan dahaga di bawah terik matahari. Kala itu liputan aksi demonstrasi yang berlangsung sejak jam 1 siang hingga magrib dan berakhir ricuh hingga tengah malam.

Namun, ramadan kali ini pula, berkali-kali berbuka puasa bersama sultan. Di hotel berbintang, rumah makan mewah dan sebagainya. Menu buka puasa dengan harga ratusan ribu bahkan mencapai jutaan. Semua saya lalui di bulan ramadan ini.

Di penghujung ramadan, barulah mendapat libur. Sebelum libur, gaji sebulan juga dicairkan lebih cepat dari waktunya. Seharusnya cair di awal bulan, kali ini dipercepat di akhir bulan.

Cukup riang. Juga gembira.

Sebelum pulang kampung, saya menyempatkan ke beberapa toko. Membeli sesuatu untuk orangtua, saudara, dan tentu kedua ponakan yang masih balita.

Di penghujung ramadan. Juga akhir April. Bertepatan saat saya lahir. Seperempat abad lalu.

Dengan riang gembira saya pulang kampung. Menemui sanak keluarga. Dan merayakan hari raya idul Fitri bersama keluarga. (*)

About the Author

Blogger pemula dari Makassar.

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di bawah ini dan bagikan pendapat Anda tentang artikel di atas.