Ketika Seekor Belut Membentuk Danau Lindu di Kaki Gunung Nokilalaki

Danau Lindu. Lokasinya di Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Terakhir ke sini November 2021.

DANAU Lindu. Lokasinya di Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Terakhir ke sini November 2021.

Di sini saya tidak mau mengulas terlalu jauh kisah seekor belut yang membentuk Danau Lindu di kaki Gunung Nokilalaki

Meskipun mitos itu ada saya sampaikan di pertengahan tulisan ini. Silakan dibaca kalau penasaran.

Namun, secara keseluruhan, saya hanya bercerita tentang pengalaman tinggal di sekitar danau ini. 

Suatu saat di masa tua, bisa membacanya kembali tanpa perlu menggali ingatan lebih jauh. Atau berharap media sosial mengingatkan kembali saat saya sudah melupakannya.

Sekalian latihan menulis dan mengisi blog yang lama tidak terisi. Haha...

Saya tumbuh besar di sekitar danau ini. Menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di sini.

Pertama MIS Al Khaeraat Kanawu. Sekolah Islam itu pernah dipimpin oleh Kepsek lulusan SD (waktu itu, waktu jadi kepsek). 

Namanya Ustadz Saidina Ali. Sekarang beliau jadi kepala desa. Sudah dua periode. Orangnya cerdas. Rajin membaca.

Kemudian lanjut ke SMPN Satu Atap (SATAP) Maradindo. Diberi nama SATAP karena kepala sekolahnya orang yang sama dengan kepsek SDN Maradindo. Namanya pak Joseph Tanda Musuh. Kini sudah almarhum.

Bukan hanya kepseknya, tapi gurunya juga orang yang sama dengan guru SDN Maradindo. Kadang guru MIS Al Khaeraat juga datang mengajar kami di SMP. 

Pernah juga, ada seorang perawat tugas di puskesmas, datang mengajar biologi. Semuanya sukarela. Tidak ada PNS.

Kalau mereka semua sibuk mengajar di SDN Maradindo dan MIS Al Khaeraat, karena sekolah itu juga kekurangan guru. 

Di MIS misalnya. Hanya ada dua guru. Waktu itu. Ibu Tia dan Ka Abry. Ibu Tia mengajar kelas 1-3, kak Abry mengajar kelas 4-6. Dialah sekali-kali datang ke SMP SATAP Maradindo mengajar.

Begitupun dengan suster Inka - perawat yang pernah mengajar kami Biologi (seingat saya namanya Inka, orang pertamai punya motor matic di kampung) yang merawat pasien di puskesmas, atau ada urusan lain. 

Sehingga kami tidak belajar. Hanya bermain menunggu waktu pulang. Kadang sudah waktunya pulang, tapi masih tinggal di sekolah. 

Karena kalau cepat pulang, pasti disuruh pergi ke kebun. Bekerja. Dan tidak ada teman bermain. Sunyi. Di hutan. Hanya bisa pegang parang. Memaras rumput. Menebang pohon. 

Pokoknya tidak semenyenangkan di sekolah yang banyak teman bermain dan lokasinya di perkampungan. Hahaha anak malas bertani. Tapi saya rajin ke sekolah.

Beda dengan kakak pertama saya yang baru-baru menikah dan sedang berharap segera dapat momongan. Dia memang rajin bekerja di kebun. Tapi agak malas di sekolah. 

Jadi pas tamat SD, langsung fokus bekerja di kebun. Cari uang. Kemudian membiayai dua adiknya sampai ahli madya dan sarjana di kota besar. Tidak peduli dirinya pergi pagi pulang malam. Sampai lupa urusan calon pendamping.

Hingga kedua adiknya menyelesaikan sekolah hingga ke pendidikan tinggi, barulah dia menikah. Meski bukan pada kekasih hatinya. Karena memang tidak memiliki kekasih hati. 

Dia diperlihatkan dengan seorang gadis oleh pamannya. Kemudian tertarik, langsung menikah. Tanpa pacaran yang dilarang dalam agama.

Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan kisah pendidikan meskipun di luar konteks judul. Karena cerita pendidikan, apalagi masa lalu, bagi saya unik saat membandingkan dengan kondisi sekarang ini. 

Hhhe banyak kisah menarik dengan segala perjuangan dan keterbatasan. Hingga saya bisa seperti sekarang ini.

Pertama kali ke danau ini tahun 2005. Saat itu Kecamatan Lindu masih wilayah Kabupaten Donggala. Yang ibu kotanya Banawa. Tidak jauh dari Pasangkayu, Sulawesi Barat.

Jarak Danau Lindu dari Kota Palu sekitar 60 kilometer. Kini sudah bisa menggunakan mobil.

Luasnya sekitar 34,88 kilometer persegi. Posisinya berada di ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. 

Juga dikelilingi beberapa gunung menjulang. Diantaranya seperti Nokilalaki (2.357 m), Lantawungu (2.270 m), Tumawu (2.120 m), serta gunung tak terlalu menjulang.

Dalam bahasa Kaili, Lindu berarti belut. Konon, dulunya danau ini hanya rawa yang didiami oleh belut raksasa. 

Setelah belut itu diusir oleh penduduk dari pegunungan (karena belut itu bersarang di kaki gunung), tempat itu kemudian membentuk lubang besar dan dipenuhi air hingga membentuk danau yang disebut sebagai Danau Lindu. 

Makanya danau ini tepat berada di kaki gunung. (Kalau masih kurang percaya, silakan googling dan baca di media) haha.

Posisinya yang terbilang tinggi di atas permukaan air laut. Di muara danau ini, katanya ada batu besar. Batu itu menahan air danau agar tidak tumpah sekaligus. Sebab, kalau tumpah, 

Kota Palu yang kecil itu dengan seisinya bisa tenggelam. Itu cerita orangtua yang selalu diteruskan ke setiap generasinya.

Namun, berdasarkan hasil penelitian, danau ini terbentuk akibat gempa bumi. Itu sebabnya Danau Lindu disebut sebagai danau tektonik. Apalagi secara geologi posisinya berada di sesar Palu-Koro.

Wajar, selama kurang lebih 10 tahun saya di sana, hampir tiap bulan gempa. Bahkan kadang tiap pekan getaran bumi terasa. 

Jika sedang belajar di kelas kemudian terasa getaran, kami langsung berlarian keluar ke lapangan. Setelah berhenti, kami masuk kelas dan lanjut belajar.

Paling dahsyat yang saya rasakan tahun 2012 silam. Tengah malam kami sekeluarga meninggalkan rumah panggung yang kami diami.

Tahun 2018 lebih dahsyat lagi gempanya. Tapi saat itu saya sudah di Makassar. Hanya sanak keluarga merasakannya. Banyak rumah rubuh. Sehingga membangun kembali.

Tiga tahun pasca gempa berkekuatan 7,4 Scala Richter itu, saya kembali "pulang kampung". Kakak pertama saya menikah di sana. November 2021. 

Waktu saya di sana hanya seminggu. Sehingga hampir tiap momen diabadikan di galeri handphone.

Cukup banyak perubahan setelah saya tinggalkan sejak tahun 2015. Dulunya hanya ada empat desa yakni Puro, Langko, Tomado, dan Anca atau biasa disingkat PLTA. Sekarang sudah ada Desa Olu. Lokasinya di seberang danau.

Selain itu, perbedaan lain adalah mobil sudah ada. Bahkan bisa menyeberang danau menggunakan kapal.

Saya masih ingat pertama ke sini, hanya ada satu perahu yang terbuat dari pohon kayu utuh. Lebarnya sekitar satu meter dengan panjang belasan meter. 

Itulah perahu penumpang terbesar saat itu. Perahu lainnya hanya milik nelayan yang lebarnya sekitar 50 sentimeter.

Namun, seiring jumlah penduduk semakin bertambah, akses menyeberang danau itu juga meningkat. Masyarakat membuat "kapal" lebih besar. 

Bukan lagi pohon utuh yang dicangkul (alat khusus) tengahnya hingga membentuk cekungan. Tapi kayu berbentuk balok dan papan disusun hingga membentuk seperti kapal. 

Bahkan saya sempat takjub melihat kapal tersebut sudah memuat mobil Hilux menyeberang danau. Padahal saat saya tinggalkan, akses mobil di gunung untuk sampai ke bibir pantai belum ada.

Perbedaan lain yang saya dapatkan adalah jaringan telekomunikasi juga sudah ada meskipun belum stabil. Hanya di tempat tertentu.

Saya tidak tahu kapan lagi kembali ke sini dan perubahan apalagi yang akan terjadi. Yang jelas daerah tersebut terus berkembang.(*)

About the Author

Blogger pemula dari Makassar.

إرسال تعليق

Tinggalkan komentar di bawah ini dan bagikan pendapat Anda tentang artikel di atas.