Demokrasi yang Tidak Demokrasi

Demokrasi di Indonesia tidak lagi demokrasi. Dalam pelaksanaan, demokrasi sebatas formalitas. Namun esensi dari demokrasi nyaris tidak ada.

DEMOKRASI di Indonesia tidak lagi demokrasi. Dalam pelaksanaan, demokrasi sebatas formalitas. Namun esensi dari demokrasi nyaris tidak ada.

Kekuasaan bukan di tangan rakyat. Tapi di tangan partai politik. Lebih spesifik lagi di tangan ketua partai politik.

Secara etimologis demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos (kekuatan). Secara harfiah apabila digabungkan memiliki makna kekuatan rakyat.

Sementara Abraham Lincoln mendefinisikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Singkatnya, demokrasi itu adalah sistem dimana pemimpin berasal dari rakyat. Kemudian dipilih oleh rakyat. Serta memimpin untuk kepentingan rakyat.

Mari kita lihat bagaimana penerapan demokrasi di Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. 

Syarat yang harus dipenuhi adalah perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR.

Saat ini hanya PDIP yang memiliki kursi di DPR di atas 20 persen. Yang lain masih di bawah itu.

Dalam prosesnya, rakyat yang tidak mendapat dukungan partai politik tidak bisa menjadi presiden. Begitupun dengan jumlah kursi minimal 20 persen.

Dalam pesta demokrasi atau proses pemilihan umum, calon presiden terlebih dulu mendapatkan dukungan dari partai politik. Atau dalam kata lain, partai politik terlebih dulu mengusulkan calon untuk dipilih oleh rakyat.

Semisal Anies Baswedan yang terlebih dulu diusulkan oleh Partai Nasdem, Demokrat, dan PKS. Kemudian Ganjar Pranowo yang diusulkan oleh PDIP. Serta Prabowo Subianto yang saat ini belum mendefinisikan diri pun masih menunggu dukungan partai politik lain.

Artinya Anies Baswedan tidak bisa menjadi capres kalau tidak diusulkan oleh tiga partai. Begitupun Ganjar dan Prabowo Subianto.

Sehingga dalam hal ini, presiden tidak murni dari pilihan rakyat. Tetapi pilihan partai politik. Rakyat dipaksa untuk memilih mereka yang disiapkan partai politik.

Jika kondisinya seperti itu, besar kemungkinan, mereka memimpin dan membuat kebijakan tidak 100 persen untuk kepentingan rakayat.

Tetapi juga mempertimbangkan kepentingan partai politik. Sebab, dasar mereka terpilih karena partai politik pendukung. Jika bukan partai politik, mereka tidak akan terpilih. 

Sehingga, dalam membuat kebijakan pasti juga akan memikirkan kepentingan partai politik. Meski harus mengkhianati rakyat.

Contohnya, undang-undang cipta kerja yang telah disahkan.

Kader PDIP Bambang Pacul pun terang-terangan mengatakan dalam menetapkan undang-undang harus mendapat persetujuan dari ketua umumnya.

Artinya, anggota DPR ssebagai perwakilan rakyat, lagi-lagi membuat kebijakan tidak murni demi kepentingan rakyat. Tapi mempertimbangkan kepentingan partai politi. Jika ketua umum partai tidak menyetujui, sulit bagi anggota DPR untuk menetapkan.

Yang jadi persoalan jika ada kepentingan partai politik semata dan merugikan rakyat, besar kemungkinan anggota DPR untuk mengesahkan. Sebab mereka lagi-lagi terpilih karena partai politik.

Begitupun dengan Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum PDIP, secara terang-terangan mengatakan Ganjar Pranowo sebagai petugas partai yang ditugaskan maju menjadi calon presiden.

Kata petugas partai menjadi dilematis bagi Ganjar Pranowo pada saat memimpin nantinya. Sebab, orang yang ditugaskan akan sulit menolak perintah dari yang memberi tugas.

Meski pada saat wawancara dengan Najwa Shihab, Ganjar Pranowo mengaku sangat senang dengan sebutan petugas partai. Begitupun dengan tugas dan kebijakan yang diambil, kata Ganjar, tidak melulu harus konsultasi ke Ketua Umumnya atau yang memberi tugas.

Sejauh ini, hanya PDIP yang secara terang-terangan mengungkap fakta dalam sistem demokrasi di Indonesia. Sebagian besar partai politik pun seperti itu.

Seperti misalnya Anies Baswedan yang didukung oleh tiga partai politik. Bisa diprediksi dalam membuat kebijakan, dampak terhadap partai politik juga akan menjadi pertimbangan.

Begitupun dengan Prabowo Subianto, salah satu bakal calon presiden. Hanya saja ia sebagai Ketua Umum partai, sehingga petugas partai tidak disematkan kepadanya. Sebab dialah yang memimpin.

Beda halnya dengan Ganjar sebagai kader yang memiliki atasan. Pun dengan Anies Baswedan yang bukan kader partai sehingga petugas partai tidak disematkan padanya.

Sebagai kesimpulan, akan sulit para pemimpin bekerja 100 persen untuk kepentingan rakyat jika sistem yang berlaku seperti ini. Sebab, rakyat dipaksa untuk memilih pilihan partai politik.(*)

About the Author

Blogger pemula dari Makassar.

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di bawah ini dan bagikan pendapat Anda tentang artikel di atas.