MENJELANG pemilihan umum, para calon presiden gencar melakukan kunjungan ke berbagai daerah. Selain berkampanye, salah satu hal yang kerap dilakukan adalah sowan kepada para ulama.
Pesantren dan ulama bak magnet bagi mereka yang ingin berkuasa. Dengan cara mendekati ulama, dapat mendulang suara pada saat pemilihan umum. Sebab, penduduk Indonesia yang akan memilih adalah mayoritas umat Islam.
Suatu ketika, menjelang pemilihan umum, seorang calon presiden berkunjung ke Makassar. Dalam kunjungan tersebut, salah satu tempat yang dikunjungi adalah kediaman ulama tersohor.
Bahkan, kediaman ulama itu dikunjungi lebih dulu sebelum menemui sang gubernur. Menjelang Pemilu ini, setiap kandidat tersebut ke Makassar, kediaman ulama itu selalu didatangi.
Sebenarnya apa sih yang dilakukan kandidat calon pemimpin itu ketika sowan ke ulama?
Awalnya hanya bertemu, bersalaman, duduk di ruang tamu, lalu saling bercengkrama.
Bercerita pengalaman masing-masing, juga kekerabatan dengan para ulama.
Namun, ada satu bagian yang tidak diketahui oleh orang banyak. Di sela pertemuan itu, sang ulama dan kandidat calon pemimpin masuk ke sebuah kamar. Hanya berdua. Cukup lama. Sekitar setengah jam hingga satu jam.
Apa yang dilakukan dalam kamar dan apa yang dibahas?
Hanya mereka berdua dengan Tuhan yang tahu.
Kunjungan itu diakhiri dengan foto bersama. Lalu foto itu diunggah ke media sosial.
Dipamerkan kepada calon pemilih bahwa dirinya dekat dengan ulama tersebut.
Dengan begitu, ia dapat dengan mudah menggaet suara masayarakat. Apalagi, banyak masyarakat memilih bukan karena mengenal atau mengetahui rekam jejak calon pemimpin itu. Tetapi mereka memilih siapa yang didukung oleh ulama yang dia kagumi selama ini.
Seperti cerita seorang santri di Jawa Barat yang menyumbangkan 100 mobil sebagai alat untuk kampanye salah satu pasangan calon presiden.
Santri itu mengaku bukan pendukung calon tersebut. Hanya karena ulama yang ia hormati dan kagumi mendukung calon tersebut, sehingga ia juga ikut mendukungnya.
Di sisi lain, bukan hanya calon pemimpin yang mengunjungi ulama. Sebaliknya banyak juga ulama yang mengunjungi pemimpin. Bahkan mendukung dan mengajak para pengikutnya untuk memilih salah satu kandidat calon pemimpin.
Dari tiga kandidat calon presiden, semuanya mendapat dukungan dari berbagai kalangan ulama. Sejumlah kelompok ulama pun mendeklarasikan dan mengampanyekan jagoannya.
Tidak jarang, pada saat kandidat itu terpilih menjadi pemimpin, ulama yang
mendukungnya pun diberikan jabatan dalam sebuah pemerintahan.
Pemimpin Mengunjungi Ulama
Sebenarnya, kunjung mengunjungi antara ulama dan pemimpin telah terjadi sejak lama. Bahkan sejak zaman Yunani kuno.
Kata ulama berasal dari bahasa Arab. Ulama ialah orang-orang yang memiliki dan ahli dalam ilmu agama dan ilmu-ilmu umum lainnya yang berkaitan dengan kemaslahatan umat.
Hampir sama dengan kaum Sofis. Mereka adalah orang yang pintar. Memiliki banyak pengetahuan. Sehingga banyak orang belajar kepada mereka.
Hanya kaum Sofis sering dipersepsikan negatif. Karena mereka selalu menghamba pada pemimpin. Mereka haus kekuasaan. Ilmu yang dimiliki disampaikan sesuai dengan kehendak penguasa.
Begitupun dengan ulama. Ada diantaranya yang memanfaatkan ilmunya hanya untuk kepentingan pemimpin yang berkuasa.
Dalam buku Fihi Ma Fihi, Jalaluddin Rumi membahas hubungan antara ulama dengan pemimpin. Setelah membaca buku itu, saya tertarik untuk menulis artikel ini.
Apalagi suasana perpolitikan saat ini sedang marak kunjung mengunjungi antara calon pemimpin dengan ulama.
Jalaluddin Rumi mencantumkan sebuah hadits Rasulullah Saw dalam buku tersebut.
"Seburuk-buruknya ulama adalah mereka yang mengunjungi para pemimpin, dan sebaik-baiknya para pemimpin adalah mereka yang mengunjungi ulama. Sebaik-baik pemimpin adalah ia yang berada di depan pintu rumah orang fakir, dan seburuk- buruk orang fakir adalah ia yang berada di depan pintu rumah pemimpin." Demikianlah bunyi haditsnya.
Menurut Jalaluddin Rumi, makna hadits tersebut yakni seburuk-buruk ulama adalah mereka yang bergantung kepada para pemimpin dan semua yang mereka lakukan demi mendapatkan simpati dari para pemimpin.
Sementara ilmu yang mereka miliki, sejak awal diniatkan sebagai media agar mereka dapat bercengkerama dengan para pemimpin. Tujuannya agar diberi penghormatan dan jabatan yang tinggi.
Mereka mengubah dirinya dari bodoh menjadi berilmu semata-mata demi para pemimpin.
Ketika ulama itu menjadi terpelajar dan berpendidikan karena takut pada para pimpinan dan ingin dipuji, maka ia akan menjadi tunduk pada kekuasaan dan arahan sang pemimpin.
Mereka menyenangkan diri dengan penuh harap agar sang pemimpin memerhatikan mereka.
Jika kondisinya sudah demikian, tidak peduli apakah ulama itu yang datang mengunjungi pemimpin atau pemimpin itu yang mengunjungi ulama, tetaplah sang ulama berposisi sebagai pengunjung dan pemimpinlah yang dikunjungi.
Sementara ketika seorang ulama menuntut ilmu bukan demi seorang pemimpin, melainkan karena Allah semata sejak awal hingga akhir, maka tingkah laku dan kebiasaannya akan sesuai dengan jalan yang benar.
Ulama semacam ini, kata Jalaluddin Rumi, memiliki akal yang dapat mengontrol dan mencegah dirinya dari perbuatan buruk.
Pada waktu yang bersamaan, semua orang yang semasa dengannya akan tercerahkan dan segan kepadanya, serta memperoleh bantuan-bantuan dari cahaya dan perumpamaan-perumpamaannya, baik mereka sadari atau tidak.
Ketika ulama semacam ini datang mengunjungi pemimpin, maka sejatinya dialah yang dikunjungi dan pemimpin adalah pengunjungnya. Karena dalam segala kondisi, pemimpin itulah yang memperoleh pertolongan-pertolongan dan banyak manfaat darinya.
Ulama ini tidak butuh kepada pemimpin itu. la laksana matahari yang memancarkan cahayanya, yang tugasnya adalah untuk memberi kepada semua makhluk. Pekerjaan ulama ini adalah memberi dan tidak menerima.
Dalam sebuah peribahasa Arab disebutkan: "Kami telah belajar untuk memberi, tapi tidak untuk menerima."
Dalam kondisi apa pun, ulama yang sesungguhnya adalah yang dikunjungi dan para pemimpin yang mengunjungi.(*)
*Referensi: Buku Fihi Ma Fihi