GAWAI Oppo A12 milikku tetiba berdering kemarin sore jelang magrib. Yang menelepon adalah tante saya, adik bungsu bapak: Ibu Tia. Saya memanggilnya ibu karena pernah menjadi guru saya waktu SD dulu. Meski sudah lama berhenti jadi guru, saya tetap lebih akrab memanggilnya Ibu daripada tante.
"Puasameko di sana?," katanya kemarin dulu. Dia sedang berada di Lindu, sebuah kecamatan terpencil di Sulawesi Tengah. Sementara saya ada di Maros, Sulawesi Selatan. Jarak kami terpaut sekitar 300 kilometer.
Ibu Tia adalah salah satu Tante saya yang cukup dekat. Hampir tiap minggu ia menelpon. Menanyakan kabar. Utamanya kabar nenek saya (ibunya Ibu Tia) yang saat ini ada di Maros bersama dengan saya.
Sebagai anak bungsu, tidak heran kalau Ibu Tia sangat manja dengan mamaknya. Hanya karena dia menikah dengan penduduk setempat di perantauan. Sehingga ia mengikuti suaminya di Lindu.
Nenek saya dirawat oleh anak dan cucunya hingga cucu dari cucunya. Cucu pertamanya sudah punya anak dan anaknya itu juga sudah punya anak. Hehe sudah empat generasi. Alhamdulillah diberi umur panjang.
"Belumpi," kataku menjawab pertanyaannya dari sambungan telepon.
Yah memang terjadi perbedaan dalam memulai puasa. Ada yang memulainya kemarin dan ada juga yang mulai hari ini.
Saat dia menelpon, sidang isbat belum ditetapkan. Belum ada instruksi dari pemerintah kapan 1 Ramadhan dimulai. Kami sama-sama mengikuti anjuran pemerintah.
"Samaji itu di sini. Itumi belumpi dipotong ayam karena belum pasti kapan mulai puasa," katanya.
"Enaknya itu. Berapa ekor dipotong ayam," saya balas bertanya.
"Ada satu ekor ini dikasih sama om kecili," katanya menjawab. Om kecili adalah ipar ibu saya. Suami dari adik bungsu ibu. Sebenarnya punya nama bagus. Hanya karena bentuk tubuhnya yang kecil, sehingga dipanggil om kecil. Mereka sekeluarga juga ikut merantau ke Lindu.
"Mau kukasih uang tapi tidak mau naambil. Jadi gratis lagi potong ayam," katanya melanjutkan.
"Kau di situ potong jeko juga ayam," Ibu Tia balik bertanya.
"Tidak kayaknya. Karena tidak ada kasiki ayam," kataku menjawab.
Ternyata ibu sudah menyiapkan satu ekor ayam jantan. Besar. Ayam sendiri. Ayam kampung yang sudah lama dipelihara. Ayam itu disimpan dalam kurungan. Saya tidak melihatnya.
Barulah kemarin ibu tiba-tiba menyuruh mengupas kelapa. Ibu sudah tau kapan mulai puasa. Pemerintah sudah tetapkan 1 Ramadhan pada 12 Maret 2024.
"Papara’ko dulu kelapa. Mau disantangi ayam sebentar," kata Ibu.
Saya pun melakukannya. Kebetulan kami punya pohon kelapa di samping rumah. Beberapa hari lalu yang tua diturunkan. Persiapan buat kue untuk berbuka puasa. Eh ternyata lebih dulu digunakan ayam untuk makan sahur pertama.
Sahur pakai Ayam Kari yang Lezat
Sore harinya ayam dipotong. Yang memotong adalah sepupu saya yang lebih tua. Dia sudah punya anak dan anaknya juga sudah punya anak. Anak itu panggil kakek ke saya. Hahaha.
Sebelum memotong ayam, pisau dapur yang digunakan memotong terlebih dulu saya asa. Salah satu hal yang dianjurkan adalah menajamkan pisau agar ayam tidak tersiksa jika dipotong menggunakan pisau yang tumpul.
Setelah pisau tajam, ayam di kurungan diambil, basuh kepalanya pakai air tiga kali, dan membersihkan kakinya dengan membasuh pakai air juga. Dalam bahasa Bugis cara ini disebut 'jenneki'.
Lalu bagaimana cara memotong ayam?
Dalam Islam, memotong ayam juga ada tata caranya. Tidak serta merta langsung menebas lehernya. Dua diantaranya seperti yang saya sebutkan di atas tadi: menajamkan pisau dan jenneki dulu atau membersihkan kotoran di kakinya.
Kemudian dalam memotong harus menghadap ke arah kiblat. Kalau di Indonesia arah kiblat adalah barat. Tempat matahari terbenam.
Saya yang memegang ayam. Sepupu saya yang memotongnya. Kami sama-sama jongkok menghadap ke barat.
Tangan kiri saya memegang kaki dan sayapnya yang disatukan. Tangan kanan saya memegang lehernya. Sedikit menarik kerongkongan ayam agar cepat putus.
Sementara sepupu saya yang memotong, tangan kirinya memegang kepala ayam. Tangan kanan memegang pisau sekaligus memotong leher ayam. Namun sebelum memotong, terlebih dahulu bulu di leher ayam dicabut agar mata bisa langsung mengiris kulit dan kerongkongan ayam.
Setelah dipotong, saya lepas. Ayam jungkir balik. Terbang ke sana kemari. Hanya sekitar lima menit, ayam itu tidak berdaya lagi. Diam. Tenang. Ayam sudah benar-benar mati.
Barulah diambil. Direndam di air yang sudah dipanaskan terlebih dulu agar bulunya mudah dicabut. Setelah bulu dicabut, ayam dipotong-potong. Kemudian dimasak. Berbagai rempah juga dimasukkan ke dalam panci yang berisi potongan-potongan ayam tadi.
Ayam inilah jadi lauk makan malam kami. Kemudian dilanjut saat sahur perdana. Karena kadang tantangan pada puasa pertama lebih besar daripada puasa selanjutnya. Jadi harus bergizi dan mengenyangkan agar bisa bertahan sehari penuh tanpa makan dan minum. Hehehe.
Ikan Bolu Goreng yang Renyah
Selain ayam kari, menu sahur juga adalah ikan Bolu goreng yang. Nama lain ikan Bolu adalah ikan Bandeng. Di beberapa tempat nama ikan ini berbeda. Tapi kalau masyarakat Sulawesi Selatan lebih akrab dengan nama ikan Bolu.
Ada cerita menarik saat kami pertama kali merantau ke Lindu, Sulawesi Tengah. Ada penjual ikan singgah di depan rumah. Ibu menyuruh kakak saya membeli ikan Bolu.
Penjualnya bilang tidak ada. Hanya ikan Bandeng sama cakalang. Kakak saya hampir tidak beli. Untung pergi melihatnya di gabus yang ada di belakang motor. Dia melihat ikan Bolu. Ternyata yang dimaksud penjual ikan itu, Bolu adalah Bandeng. Haha.
Kalau ikan Bolu ini, ibu beli di pasar dua hari lalu. Karena pasar di kampung ada waktunya. Hanya Selasa dan Sabtu.
Ikan itu disimpan di kulkas. Barulah kemarin dikerja. Dibersihkan sisiknya, dipotong-potong, lalu digoreng.
Sayang, ikan ini kurang laku. Saya, ibu, ipar, keponakan, dan dua sepupu lebih lahap makan lauk ayam.
***
DEMIKIAN cerita menu sahur pertama kami yaitu ayam kari dan ikan bolu goreng. Terimakasih sudah membaca sampai selesai. Silahkan tinggalkan pesan di kolom komentar jika Anda punya saran, kritik, atau pertanyaan seputar topik pembahasan.
Salam,