Takziah dengan Sentuhan Hikmah Kematian

Kematian tidak semata meninggalkan duka mendalam. Terdapat hikmah yang sangat berarti bagi orang yang ditinggalkan.
Takziah

SETELAH makan malam, saya ke kamar. Duduk sejenak. Scroll media sosial. Lalu berbaring. Tidak lama kemudian, ibu datang. Ia mengajak ke rumah duka, almarhum nenek Amir Bin Karim yang meninggal pekan lalu.

Saya pun bergegas. Bangkit mengambil celana panjang dan jaket. Rumah duka tidak jauh dari rumahku. Dia di ujung barat Dusun Balocci, saya di ujung timur.

Ini adalah malam ketujuh almarhum nenek meninggal. Selama ini saya hanya tahu nama panggilannya: nenek Lammi. Saya baru tahu saat takziah, nama lengkapnya disebut: Amir Bin Karim.

Begitulah kami dalam suku Bugis di kampung. Semua orangtua bapak dan ibu dipanggil nenek. Laki-laki maupun perempuan. Tidak ada panggilan kakek.

Selain itu, kami anak-anak yang lahir belakangan sangat jarang diberitahu nama asli orangtua ataupun nenek. Memanggil nama para orangtua secara langsung dianggap kurang sopan.

Sehingga, selain nama panggilan akrabnya, secara sopan memanggilnya adalah dengan menyebut nama anak atau nama cucunya. Bapaknya si anu atau neneknya si anu.

Nenek Lammi pergi meninggalkan seorang istri, satu anak dan menantu, serta dua orang cucu. Usianya belum sampai 60 tahun. Baru 58 tahun.

Beberapa bulan ini memang nenek Lammi sakit-sakitan. Dia dan keluarga sudah berusaha dan berdoa. Kesana kemari berobat. Kadang dirawat di Puskesmas. Kadang dirawat di rumah. Hingga akhirnya menghembuskan napas terakhir pelan lalu.

Tadi malam, keluarga mengadakan takziah. Mengundang penceramah untuk memberikan nasihat kematian dan memberi penguatan kepada keluarga yang ditinggalkan agar menerima semua ini dengan tabah dan sabar.

Selain itu, masyarakat juga berdatangan. Mereka hadir mendengar ceramah, memetik hikmah dibalik kematian, serta menghibur keluarga yang ditinggalkan.

Penceramah yang dipanggil adalah Ustadz Muh Farid Wajedy. Dia alumni Pondok Pesantren Mangkoso yang lebih dikenal di media sosial sebagai ustadz gaul.

Ceramah-ceramahnya yang lucu dan menghibur banyak menarik pengikut di jagad maya. Dia telah kesana kemari memberi ceramah. Di dusun saya, ini kali kedua Ustadz Farid Wajedy beri takziah.

Ia membeti ceramah tentang kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat. Bagaimana menyikapi orang yang telah berpulang. Apa yang harus dilakukan, terutama istri dan anak yang ditinggalkan.

Seorang istri dan anak harus menjalankan wasiat suami atau orangtua. Jika mereka punya hutang, segera dilunaskan semuanya.

Terpenting adalah bagaimana agar anak bisa terus mendoakan orangtua yang telah kembali kepada sang pencipta. Karena ada tiga hal yang tidak pernah terputus jika seseorang telah meninggal.

Pertama sedekah jariyah. Ketika kita masih hidup, rajin-rajinlah bersedekah. Seperti turut menyumbang untuk pembangunan masjid. Karena meski kita telah meninggal, amal kita akan terus berjalan dan bertambah selama masjid masih digunakan.

Kedua ilmu yang bermanfaat. Itulah pentingnya kita untuk terus belajar dan mengajarkan apa yang diketahui. Selama hal yang diajarkan itu dilaksanakan dengan baik dan terus diajarkan kepada generasi selanjutnya, maka amalan kita akan terus bertambah meskipun kita sudah tiada.

Terakhir adalah doa anak yang saleh. Itulah pentingnya seorang anak. Kita diminta untuk mendidik mereka dengan baik. Jika kita bukan penghafal Al Qur'an, usahakan anak kita bisa jadi penghafal Al-Qur'an.

Didiklah anak menjadi anak saleh atau salehah. Karena amalan mereka juga akan mengalir kepada orangtuanya. Meski ruh dan jasad orangtua sudah berpisah, amalnya masih bisa terus bertambah melalui doa anak yang saleh.

Hanya tiga hal itu yang bisa diharapkan setelah kita meninggal. Kita tidak bisa lagi meminta dihidupkan kembali untuk melakukan ibadah dan sebagainya. Harta dan jabatan tidak ada gunanya. Semua sirna. Kenikmatannya hanya sesaat. Sebatas di dunia saja.

Apalagi perhiasan emas. Kata penceramah, kalau seorang istri yang gemar mengoleksi perhiasan, setelah meninggal yang pakai adalah istri baru sang suami. Tidak dibawa mati.

Di sela ceramahnya, sekali-kali Ustadz Farid Wajedy menyelipkan cerita lucu yang marak di masyarakat. Khususnya masalah kontemporer yang banyak meracuni anak-anak, remaja, hingga orang dewasa: game online.

Istilah-istilah dalam game yang banyak dimainkan sekarang tak luput ia sebutkan, menirukannya secara persis, hingga membuat gelak tawa jamaah.

Kemudian berlanjut kepada perilaku suami istri dalam rumah tangga. Bagaimana seharusnya sikap seorang istri kepada suaminya. Begitupun sebaliknya.

Mengakhiri ceramahnya, Ustadz Faried Wajdi mengajak seluruh jamaah untuk merenungi hikmah dari kematian. Bahwa kita semua pasti akan mati. Cepat atau lambat kita akan menyusul almarhum.

Sehingga, momen seperti inilah kita bisa sejenak meninggalkan urusan dunia dan berefleksi. Merenungi apa yang telah kita kerjakan selama ini. Sesuatu yang baik harus terus dilanjutkan dan ditingkatkan. Adapun keburukan, sudah saatnya kita tinggalkan.

***

DEMIKIANLAH catatan harian tentang Takziah dengan Sentuhan Hikmah Kematian. Terimakasih sudah membaca sampai selesai. Semoga bermanfaat.

Salam,

About the Author

Blogger pemula dari Makassar.

4 komentar

  1. Tausiyah yang menyerahkan
    Jadi tambah ilmu
    Dan harus mempersiapkan diri
    1. Iya bang. Kadang melalui duka cita karena ditinggalkan orang lain sejenak membuat kita sadar bahwa ada tujuan akhir dari kehidupan.
  2. Turut berduka cita untuk kepergian neneknya. Aku baru tahu kalau di Bugis gak ada panggilan “kakek” hanya “nenek”. Terima kasih juga untuk pengingatnya untuk meninggalkan keburukan. Tulisan yang bagus :)
    1. Hehe iya. Tapi sekarang yang tinggal di bagian perkotaan sudah banyak panggil kakek... kalau di daerah pelosok Bugis masih panggil nenek semua..

      Terimakasih kak sudah mampir beri komentar.
Tinggalkan komentar di bawah ini dan bagikan pendapat Anda tentang artikel di atas.