Resensi Filosofi Teras: Menemukan Damai dalam Penderitaan

Resensi Filosofi Teras: Menemukan Damai dalam Penderitaan

Cerita menemukan kedamaian dalam penderitaan melalui kebijaksanaan kaum stoa. Hidup selaras dengan alam dan menjalani hidup lebih bermakna.

SAYA sudah dua kali menamatkan buku ini. Tapi kali ini suasananya berbeda dari sebelumnya. Meski sudah membaca seluruh isinya, ada saja pemahaman baru saya dapatkan saat membaca ulang buku ini.

Filosofi Teras
Buku Filosofi Teras.

Drop, Tipes, Vertigo

Awal tahun 2023, saya drop. Setiap berdiri, penglihatan berputar-putar. Pusing. Menggigil. Tulang-tulang remuk. Perut mual. Tidak ada nafsu makan. Selalu ingin muntah.

Setelah periksa ke Puskesmas, diagnosa dokter adalah thypoid atau biasa disebut tipes. Saya dirawat selama tiga hari. Lalu istirahat di rumah kurang dari satu bulan.

Setelah semua obat yang diberikan dokter habis, kondisiku sudah membaik. Saya tidak pusing lagi. Nafsu makan mulai membaik. Saya kembali bekerja seperti biasa di Makassar sebagai jurnalis.

Sekitar sebulan lebih bekerja, penyakitku kambuh lagi. Kali ini lebih parah. Jangankan berdiri, sekadar bangkit dari tidur untuk duduk sejenak saja saya langsung oleng.

Saya tidak bisa lagi dibonceng pakai sepeda motor. Ibu memanggil tetangga yang punya mobil untuk diantar ke rumah sakit.

Dokter saraf mendiagnosa: vertigo sentral. Setelah darahku diambil dan diperiksa di lab, ternyata masih thypoid. Tipes.

Vertigo

Dokter memberi tiga macam obat untuk 7 hari. Ada yang diminum 3 kali sehari, 2 kali, ada juga 1 kali sehari. Saya bisa pulang. Lalu kontrol lagi pekan depannya.

Begitu seterusnya selama dua bulan. Pergi pulang kontrol ke rumah sakit setiap pekan. Setidaknya ada 200 lebih tablet dan pil pahit dari dokter saya telan. Belum juga sembuh. Tapi sudah ada perubahan. Setidaknya sudah bisa duduk dan sesekali berdiri dan berjalan. Minimal sudah bisa berjalan sendiri ke kamar mandi.

Saya akhirnya berhenti berobat dokter. Tidak ada perubahan signifikan. Sudah terlalu banyak obat saya konsumsi. Bahkan saat berkeringat pun, yang tercium hanya aroma obat.

Apalagi cuaca pertengahan hingga akhir tahun 2023 lumayan panas. Tiada hari tanpa mandi keringat.

Saya kemudian beralih ke obat herbal. Mulai mengoleskan air perasan daun pai-pai di kepala, minum air buah sawo, daun sirsak, madu, hingga melakukan bekam di punggung, leher, dan kepala. Selama berbulan-bulan juga belum sembuh total.

Bekam
Bekam.

Hingga satu tahun berlalu, belum juga pulih. Terkadang masih oleng. Masih ada rasa sakit di kepala. Kadang terasa tegang bagian belakang leher naik ke kepala.

Tapi kondisi saya sudah semakin baik. Sudah bisa berjalan. Senam pagi 10 sampai 15 menit. Kondisi badan normal. Sekilas dari fisik tampak tidak ada yang sakit.

Mulai Overthinking

Tinggal di rumah selama setahun lebih, sangat membosankan. Apalagi dalam keadaan sakit. Hanya bisa makan, tidur, mandi, buang air, dan seterusnya. Tidak ada aktivitas lain.

Badan terbaring di tempat tidur, tapi pikiran di pekerjaan. Sebagai jurnalis yang bertugas liputan politik, tahun 2023 dan 2024 adalah momen yang paling sibuk.

Narasumber silih berganti menghubungi saya. Sayang sekali saya tidak bisa.

"Mohon maaf saya lagi kurang sehat," kataku pada mereka menolak.

Lama kelamaan mulai overthinking. Pengeluaran terus jalan. Kos-kosan yang saya sewa di Makassar, hanya dibayar tapi tidak ditinggali. Saya sudah sewa untuk satu tahun. Air dan listrik juga bulanan. Tetap harus dibayar.

Belum lagi pengeluaran pribadi setiap bulan seperti BPJS hingga pulsa dan kuota. Tidak ada putusnya setiap bulan. Isi rekening terus terkuras. Sementara pemasukan tidak ada.

Saya berusaha terus berpikir positif. Menyadari kehadiran emosi negatif yang menghampiri. Bisa tenang. Tindakan dan ucapan bisa terkendali.

Tapi pikiran negatif selalu saja datang membayang-bayangi. Apalagi saat ingin tidur. Membuat overthinking hingga insomnia. Tidur larut malam. Padahal ibu, saudara dan ponakan tidur ketika sinetron favoritnya selesai: jam 9 malam.

Kadang mereka menegur saya yang selalu tidur larut malam. Padahal sedang sakit.

Mungkin karena selama ini, di Makassar, saya selalu tidur larut malam. Kadang subuh atau pagi baru tidur. Karena sudah jadi kebiasaan, sampai sekarang, mata sulit terpejam di awal sepertiga malam.

Membaca Filosofi Teras

Karena tidak ada aktivitas, selain scroll sosial media dan membaca berita terbaru agar tidak ketinggalan isu, sekali-kali saya baca ulang buku-buku yang ada di rak. Salah satunya Filosofi Teras.

Meski sudah pernah menamatkannya, saya baca lagi dalam kondisi terpuruk. Rasanya beda dengan saat pertama kali membacanya. Ada saja pemahaman baru saya dapatkan.

Henry Manampiring menulis bukunya dengan gaya santai dan menceritakan banyak pengalaman pribadinya yang sulit. Seperti pada bagian prakata, ia menceritakan saat mengalami overthinking, cemas, dan merasa tidak semangat menjalani hidup. Merasa terus tertekan. Hingga mempengaruhi orang di sekitarnya.

Hingga ia menemui psikiater. Kata sang Psikiater, Manampiring menderita major depressive disorder atau yang lebih familiar disebut dengan depresi.

Dalam proses penyembuhan dari depresi, Henry Manampiring secara tidak sengaja menemukan buku tentang stoisisme, salah satu cabang filsafat yang menekankan pada takdir, logika, dan pengendalian diri.

Membaca cerita-cerita Henry Manampiring di prakata buku ini, rasanya hampir mirip dengan yang saya alami saat ini. Sama-sama menderita. Hehehe.

Dengan kondisi sakit seperti sekarang, berbagai macam obat saya minum, tapi belum sembuh. Belum lagi memikirkan pekerjaan, kondisi ekonomi, pengeluaran terus menerus setiap bulan tapi pemasukan tidak ada. Merasa cemas hingga overthinking.

Tapi saya belum sampai ke psikiater. Saya juga masih menganggap diri normal. Belum sampai merasa depresi seperti Henry Manampiring. Semoga tidak. 

Apalagi saya sudah menemukan salah satu obat depresi yang mempercepat penyembuhan Henry Manampiring: Filosofi Teras. Dan benar, saya baru sedikit memahami tentang stoisisme, membuat perasaan dan pikiran sedikit lebih tenang. Rasa khawatir dan cemas perlahan reda.

Takut, Stres, Khawatir, Cemas, Depresi.

Satu hal yang menarik dari buku ini, karena disertai dengan data hasil survey khawatir nasional serta wawancara langsung dengan psikiater, Dr Andri SpKJ FAPM.

Dalam sebuah wawancara, ada pertanyaan yang sering saya alami tapi tidak memahaminya dengan baik: perbedaan takut, stres, khawatir/cemas, dan depresi.

Menurut Dr Andri, takut kita tahu sumbernya. Dia mencontohkan seperti takut setan. Sementara cemas, penyebabnya tidak jelas. Pokoknya merasa cemas saja.

Adapun stres berarti tekanan, sesuatu yang mengganggu keseimbangan di hidup kita. Ia kemudian membagi stres menjadi dua: stres fisik dan mental.

Stres fisik terjadi kalau misalnya olahraga sampai kecapean. 

Sementara stres mental yakni merasa exhausted atau kelelahan. Jika stres ini terus meningkat, bisa masuk fase cemas. Makin jauh lagi, jika cemasnya dibiarkan, bisa menjadi depresi seperti yang dialami Henry Manampiring.

Setelah membaca wawancara itu, saya sejenak berefleksi. Sepertinya apa yang dipaparkan Dr Andri, sedang saya alami: stres mental. Tapi mungkin saya baru sampai fase cemas. Belum depresi.

Haha entahlah. Itu hanya tafsiran atas apa yang saya alami. Belum pasti. Mungkin baru bisa jelas kalau saya ke psikiater. Tapi ah, sepertinya tidak perlu. Saya masih bisa mengendalikan pikiran bawah sadar saya, juga tindakan dan ucapan.

Dr Andri juga menjelaskan lebih rinci penyebab depresi. Ia mengatakan kalau gangguan cemas tidak datang tiba-tiba. 

Berdasarkan pengalaman Dr Andri, pasiennya datang setelah mereka berkeliling ke beberapa dokter termasuk dokter saraf. Kata dia, gejalanya seperti vertigo, kemudian dinyatakan tidak apa-apa. Tidak ada organ yang rusak.

Apa yang dijelaskan itu juga mirip dengan yang saya alami. Apakah saya sudah termasuk dalam kondisi depresi? Saya tidak tahu. Saya belum pernah merasakan depresi. Hehe.

Saya sudah berkali-kali kontrol kesehatan ke dokter saraf. Hasilnya persis yang Dr Andri sampaikan. Dokter saraf bilang saya vertigo. Lebih spesifik, vertigo sentral.

Kata dokter saraf itu, saya tidak apa-apa. Cukup minum obat, banyak istirahat, nanti bakalan sembuh.

Tapi sampai dua bulan saya konsumsi obat, tak kunjung sembuh. Akhirnya saya hentikan. Beralih ke obat herbal, minum madu, hingga melakukan bekam. Belum sembuh total.

Lalu apakah saya harus ke psikiater? Ah sepertinya belum saatnya. Saya masih merasa normal. Meski kadang overthinking, pikiran negatif, cemas, dan khawatir masih sering terbayang ketika ingin tidur.

Saya masih bisa mengendalikan tindakan dan ucapan terhadap orang disekitar saya. Interaksi sosial saya masih normal. Sesekali bercanda dengan tetangga ketika ngumpul sore hari di depan rumah.

Apalagi saya sudah membaca buku Filosofi Teras ini. Yang membuat hati menjadi lebih tenang dan damai.

Hidup Selaras dengan Alam

Inti dari buku ini bercerita tentang kehidupan kaum stoa, filsafat Yunani kuno terkait kebijaksanaan dalam kehidupan: hidup selaras dengan alam.

Meski aliran filsafat ini sudah berlalu ribuan tahun, tapi masalah dan solusinya masih relatable dengan kehidupan saat ini.

Pemikiran para filsuf Stoa (Marcus Aurelius, Seneca, dan Epictetus) tentang stoikisme bak oase di tengah padang pasir bagi orang yang sedang dirundung masalah kehidupan apalagi jika sedang depresi.

Stoisisme berfokus pada pencapaian kebahagiaan dan ketenangan batin. Pencapaian ini didapat melalui penerimaan terhadap apa yang tidak dapat diubah dan fokus pada apa yang dapat dikendalikan.

Filosofi Teras

Para filsuf stoa mengajarkan bahwa kita tidak dapat mengendalikan peristiwa yang terjadi di luar diri. Seperti kesehatan, pekerjaan, persepsi orang lain, dan sebagainya. Tapi, kita hanya bisa memilih bagaimana merespons peristiwa ini. Hanya respon terhadap suatu peristiwa yang ada dalam ruang kendali kita.

Seperti halnya penderitaan atau penyakit yang saya alami. Saya tidak bisa mengendalikan kondisi kesehatan saya. Penyakit datang dari luar kendali saya. Saya hanya bisa meresponnya dengan berobat, istirahat yang cukup, makan dengan teratur, banyak minum air putih, serta tak kalah penting memberi asupan jiwa dengan cara mendekatkan diri dan terus berdoa kepada sang pengendali.

Menggerutu ataupun menyalahkan diri sendiri bukan respon yang baik. Itu semua tidak menyelesaikan masalah. Tidak membuat penyakit ini hilang.

Dengan menerima apa yang tidak dapat diubah dan fokus pada apa yang dapat dikendalikan, kita dapat mencapai ketenangan batin dan kebahagiaan sejati.

Kaum Stoa meyakini kebahagiaan tidak datang dari faktor eksternal seperti kekayaan, ketenaran, atau kesenangan fisik. Melainkan dari kekuatan mental dan kemampuan untuk mengendalikan pikiran dan emosi kita. 

Ada beberapa filsuf stoisisme dalam buku ini. Namun saya ingin mengutip dalam tulisan ini kisah dua penganut stoisisme yakni kisah James Stockdale dan Victor Frankl.

James Stockdale pernah ditangkap, dikeroyok dan dipukuli hingga pincang seumur hidupnya. Ia ditahan sebagai tawanan perang selama 7,5 tahun di Vietnam. Lebih dari 4 tahun dari masa itu dihabiskan dalam sel Isolasi. Namun ia tetap waras, tenang, dan damai menjalaninya dengan prinsip stoisisme.

Begitupun dengan Viktor Frankl, seorang psikiater yang hidup di Austria saat Perang Dunia II. Ketika tentara Nazi Jerman memasuki Austria, satu persatu keluarganya dibunuh. Mulai ayah, ibu, saudara, hingga istrinya dibunuh di kamp konsentrasi.

Selama di kamp konsentrasi, Frankl tetap aktif bekerja menyediakan kelas pengajaran dan juga layanan kesehatan bagi sesama tawanan selama bertahun-tahun sampai akhirnya ia dibebaskan.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana menderitanya James Stockdale dan Viktor Frankl menjalani hidup. Tapi dengan memahami prinsip stoisisme, mereka bisa menjalani hidupnya dengan damai.

Bahkan dari pengalaman pahit sekalipun, mereka menemukan makna hidup. Masing-masing menuliskan cerita inspirasi dari pengalaman pahitnya.

Stockdale menulis esai berjudul "Courage Under Fire: Testing Epictetus's Doctrines In A Laboratory of Human Behavior. Sementara Frankl menulis buku dengan dengan judul Man's Search for Meaning.

Dari kisah mereka membuat saya sadar kalau peristiwa menyakitkan dan tidak manusiawi pun, hidup masih bisa memiliki makna. Dan karenanya, penderitaan pun dapat bermakna.

Kita tidak bisa memilih situasi kita, tetapi kita selalu bisa menentukan sikap kita atas situasi yang sedang dialami.

Meski penderitaan yang saya alami belum ada apa-apanya, tapi saya mencoba memetik hikmah dan menulisnya. Walaupun hanya lewat blog ini.

Setidaknya, menulis makna yang saya alami yang tidak seberapa ini, bisa jadi pelajaran untuk hidup lebih sabar. Lebih tenang dan lebih damai.

Kesehatan, pekerjaan, uang, opini orang lain, sudah seharusnya tidak menjadi beban pikiran jika ingin hidup selaras dengan alam. Intinya adalah fokus pada diri sendiri dan apa yang bisa dikendalikan untuk merespon peristiwa yang terjadi.

***

DEMIKIAN resensi sekaligus refleksi saya membaca buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring. Buku ini cocok untuk semua kalangan. Tidak peduli latar belakang agamanya apa.

Buku ini juga menawarkan panduan praktis dan mudah dipahami untuk menerapkan filosofi Stoisisme dalam kehidupan sehari-hari.

Stoikisme dapat membantu kita untuk menerima apa yang tidak dapat diubah, fokus pada apa yang dapat dikendalikan, mengendalikan emosi, dan menjalani hidup yang lebih bermakna.

Jika kamu ingin menemukan kedamaian batin dan kebahagiaan sejati, buku ini sangat recomended.

Terimakasih sudah membaca sampai selesai.

Salam,

signature

Bagikan Artikel Ini

Previous Post
2 Comments
  • Randi Iskandar
    Randi Iskandar 11 Juli 2024 pukul 17.11

    Cerita yang luar biasa! Semoga kita semua selalu diberi kesehatan.

    • Wahyudin Tamrin
      Wahyudin Tamrin 22 Juli 2024 pukul 18.44

      Aamiin.

      Terimakasih sudah mampir.🙏

Add Comment
comment url