Cerita Panen Porang, Beberapa Kali Tertunda Dijual

Ini adalah pengalaman pertama kali saya panen dan menanam porang. Dulu, saya selalu sibuk menempuh pendidikan di ibukota provinsi. Kini baru bertani.
Porang
Porang.

SEJAK memasuki musim hujan, tanaman porang di kebun mulai banyak tumbuh. Beberapa pohon yang tumbuh dan besar sejak musim kemarau sudah tua. Daunnya layu dan berguguran. Tersisa bunga yang kering di pucuk batang. Pertanda sudah waktunya dipanen.

Tumbuhan ini dulunya ditanam oleh almarhum bapak. Waktu itu yang ditanam dalam bentuk biji atau biasa disebut katak. Bapak hanya menghamburkan begitu saja dikebun. Tidak secara serius ditanam.

Biji katak itu kemudian tumbuh besar lalu mati. Kemudian biji katak yang melekat pada pangkal tangkainya jatuh. Lalu tumbuh lagi. Bertahun-tahun tidak pernah dirawat. Seperti tanaman liar yang tidak dipelihara. Bertahun-tahun juga tidak pernah dipanen. Harganya murah sekali. Kadang hanya Rp 3000 per kilogram atau kadang malah di bawahnya.

Sepeninggal bapak, Ibu lebih senang menanam pisang dan nenas di kebun yang dulunya adalah sawah. Dua jenis tanaman itu lebih menjanjikan. Enak dikonsumsi pribadi. Jika dijual, harganya juga lumayan. Selain itu bisa panen beberapa kali dalam setahun.

Berbeda dengan porang. Selain harganya murah, juga tidak bisa langsung dikonsumsi secara pribadi. Harus terlebih dahulu diolah melalui pabrik.

Namun, belakangan ini harga porang mulai naik. Saya baca berita, di beberapa daerah harganya mencapai Rp 9.000 per kilogram.

Panen Porang

Seorang tetangga yang sering lewat depan rumah melihat beberapa pohon porang di sekitar rumah. Tidak sampai sepuluh pohon. Tapi sudah besar. Ada yang sudah tua. Daunnya sudah habis layu berguguran.

Dia meminta untuk merawat. Jika sudah banyak tua, segera dipanen. Ada pedagang yang ingin membeli seharga Rp 5000 per kilogram. Ibu belum tertarik untuk memanen.

Saban hari, antara waktu ashar dan magrib, tetangga kampung, seorang pedagang ayam jumbo membuat story di WhatsApp. Isinya kurang lebih menawarkan bibit tanaman porang.

Ibu melihat itu sekilas. Lalu menanyakan harga jual porang.

Jawabannya tak terduga. Harga yang ditawarkan lumayan tinggi. Dua kali lipat dari harga biasanya.

"Saya belikan Rp 6000," katanya.

Ibu langsung tertarik dengan penawarannya. Jika ada, kata orang itu, dia ingin membelinya.

"Tanyakan juga tetanggata. Siapa tau ada yang punya porang juga. Sekalianmi," ucapnya.

Porang
Porang.

Porang
Porang.

Ibu pun menghubungi beberapa kerabat yang diketahui punya porang. Dua diantaranya adalah keluarga. Setiap ada orang lewat dan singgah di depan rumah, ibu juga menanyakan apakah orang itu punya tanaman porang atau tidak. Hingga akhirnya hanya ada dua petani yang memiliki porang di kebun.

Sore itu juga, ibu langsung pergi menggali porang yang tumbuh di sekitar rumah. Ada satu pohon batangnya lumayan besar. Masih berdiri kokoh. Daunnya sudah habis. Tersisa bunga di pucuk batang.

Ibu menggali pakai linggis. Tidak dalam. Ternyata umbinya lumayan besar. Seperti ukuran kepala manusia dewasa. Beratnya sekitar 5 kilogram.

Tidak berhenti pada satu pohon itu. Ibu mencoba menggali lagi. Kali ini batangnya juga besar, tinggi sekitar satu meter, daunnya lebar. Ibu coba menggali lagi. Wah ternyata umbinya kecil. Hanya seukuran kepalan tangan. Selain itu, keriput pulang.

Saat menggali, ada tetangga jalan-jalan depan rumah. Lalu melihat umbi porang yang ibu sudah gali.

"Wih lompona tue (besarnya itu)," katanya dalam bahasa Makassar saat melihat umbi besar yang ibu gali pertama.

"Iye besar ini. Tapi ada tong ini kecilki," kata ibu merespon sambil menunjukkan umbi yang kecil.

"Kamma memang punna labbaki raunna, kapurruki (begitu kalau daunnya masih lebar, keriput)," katanya menanggapi. Lagi-lagi dalam bahasa Makassar.

Tentu dia lebih berpengalaman. Beberapa kali pernah panen. Tire, begitu orang Makassar menamakan porang.

Hanya ada dua sampel di sekitar rumah yang digali. Kesimpulannya: jika daunnya sudah habis berarti umbinya besar. Jika daunnya mekar, umbinya kecil.

Umbi Porang
Umbi Porang.

Umbi Porang
Umbi Porang.

Sekitar pukul lima sore hari, ibu menyuruh saya dengan kakak perempuan pergi melihat di kebun. Tidak jauh. Hanya sekitar 200 meter dari rumah. 

Saya pun ke kebun bersama kakak. Tidak lupa membawa linggis. Jika ada tua, langsung digali.

Waktu itu ekspektasi kecil. Sebab sangat jarang kami memperhatikan tanaman ini. Bahkan sering saat saya ke kebun, malah menebang pohonnya yang mengganggu.

Saat tiba di kebun, saya dengan kakak mulai berpencar mencari batang porang yang sudah tua. Saya yang bawa linggis. Otomatis saya yang gali. Ketika melihat pohon yang sudah tidak berdaun, saya langsung gali.

Tidak jauh, kakak saya melihat ada lagi. Kini saya tidak lagi mencari. Kami bagi tugas. Kakak yang mencari dan menunjukkan, saya yang menggali.

Ternyata di luar dugaan. Umbi porang yang kami dapatkan sudah mulai banyak. Sudah ada belasan. Tidak bisa lagi dipegang, dijinjing untuk dibawa pulang.

Sejenak, kakak saya berhenti mencari. Dia ingin pulang mengambil karung. Tapi dalam perjalanan, dia menemukan di kebun. Lalu kembali lagi masukkan umbi-umbi porang yang sudah saya gali ke dalam karung.

Hari makin sore. Langit tidak lagi biru. Berubah jadi orange kekuning-kuningan. Sedikit lagi matahari terbenam. Radio di masjid belum bunyi. Artinya masih ada waktu.

Saya dan kakak makin bersemangat mencari batang porang yang tak lagi punya daun. Hingga tidak menemukan lagi. Mungkin ada sekitar 20-an umbi yang kami dapatkan. Setengah karung lebih.

Beratnya lumayan. Mungkin sekitar 40 atau 50 kilogram. Karung itu kemudian saya ikat. Lalu bersama kakak pikul menggunakan kayu.

Hari mulai gelap. Suara mengaji di radio masjid sudah terdengar. Pertanda waktu salat magrib segera tiba.

Lega rasanya tiba di rumah. Umbi-umbi porang sudah terkumpul. Tinggal menunggu diangkut esok hari.

Malam pun tiba. Waktunya istirahat. Makan malam. Lalu tidur. Hingga gelap berganti terang.

Pagi hari, saya pergi lagi ke kebun. Dalam perjalanan saya dapati tetangga yang juga tante saya menggali porang.

"Ai kurang saya kudapat tire. Masih kecilki," katanya saat melihatku.

"Tapi kalau barui muccu'-muccu' (berkuncup), besar-besarji tirenya," tambahnya.

"Iyakah," saya pun penasaran.

Setelah melihatnya, ternyata umbinya lumayan besar.  Saya kembali lagi ke kebun. Mencari porang yang baru kuncup.

Beberapa yang saya gali memang besar. Tapi ada juga yang sedang.

Ternyata setelah saya melihat beberapa sampel perbandingan, porang yang batangnya besar tapi baru kuncup (belum berdaun), umbinya membesar.

Kemudian mengecil ketika daunnya mekar hingga tumbuh tinggi. Selain kecil, juga mengkerut atau keriput.

Barulah umbinya membesar lagi setelah daunnya berguguran atau mendekati mati.

Pagi itu saya mendapatkan beberapa umbi lagi dari pohon yang baru kuncup. Belum memiliki daun. Ukurannya masih kecil. Mungkin hanya sekilo atau setengah kilogram per umbinya.

Tidak apalah. Setidaknya ada tambahan yang kemarin. Tambahan lima hingga sepuluh kilogram itu sudah lumayan. Apalagi selama ini porang itu hanya tumbuh di kebun bagaikan tanaman liar. Tidak dipelihara.

Penjualan yang Selalu Tertunda

Rasanya sudah tidak sabar untuk segera menimbang dan menjualnya. Penasaran berapa kilogram total keseluruhannya.

Sore itu ibu kembali menelpon sang pedagang yang ingin membeli. Tapi tidak jadi. Katanya timbangannya dibawah oleh anak buahnya ke kecamatan sebelah. Belum dikembalikan.

Hari itu tidak jadi dijual. 

"Besokpi kalau sudah ada timbangan saya ambil," katanya kepada ibu.

Keesokan harinya, seorang pedagang juga lewat depan rumah. Dia melihat porang yang sudah saya kumpulkan. Dia singgah dan menanyakan kepemilikan. Dia ingin membelinya.

"Sudah ada yang mau beli," kataku padanya.

"Berapa dia belikan?" dia bertanya.

"Enam ribu perkilo. Kalau kita berapa dibelikan?" Saya balik bertanya.

"Oh mahal dia ambilkan di'. Kalau saya hanya lima setengah (Rp 5.500) per kilo," jawabnya.

Hanya beda Rp 500. Yah memang tidak seberapa. Tapi kalau dikali banyak, bedanya juga banyak.

Hari itu, saya tidak jual. Dia pun pamit.

Tidak lama setelah orang itu pergi, ibu menelpon lagi orang yang ingin membeli. Katanya timbangannya belum kembali.

"Kalau ada timbanganta di situ, kita timbangmi. Nanti saya ambil baru langsung kasih uangnya," katanya kepada ibu.

Sayang sekali, kami tidak punya timbangan. Tetangga-tetangga rumah juga tidak ada yang punya.

"Tidak ada juga. Adapi timbanganta," kata ibu.

"Iye, kita tunggu-tunggu mi pale. Kalau kembalimi besok timbangan, baru saya ke situ ambil," katanya.

Keesokan harinya belum ada kabar. Waktu berlalu sudah tiga hari setelah umbi porang digali. Tiap hari diterpa sinar matahari. Kulitnya mulai kering.

Jika makin lama tak ditimbang, bisa-bisa beratnya makin berkurang. Ibu kembali menelepon pedagang itu.

"Kapanki mau ambil itu porang?" kata ibu mulai mendesak.

"Minta maaf ini karena timbangan belum kembali," katanya lagi-lagi beralasan karena timbangan.

"Sekali lagi minta maaf karena sekarang timbanganku ada di Pangkep. Belum kembali-kembali," ia melanjutkan dengan meminta maaf sekali lagi.

Kini timbangannya makin jauh. Bukan lagi di tetangga kecamatan, tapi sudah lintas kabupaten. Ibu mulai capek menunggu.

"Kalau lama sekali saya jual lainmi pale ini. Karena tidak pastipi kapan kembali timbanganta. Baru makin kurang nanti beratnya itu kalau makin kering," ibu menjelaskan panjang lebar.

"Dari kita ji. Tidak apa-apa ji kalau kita jual lain, karena saya belum bisa pergi ambil kalau sekarang," katanya mulai pasrah.

"Iye, saya jual lainmi pale," kata ibu singkat.

Keesokan harinya ibu mencari kontak orang yang pernah singgah di rumah yang mau beli porang. Tidak lama, kontaknya dapat.

Ibu langsung menelponnya. Katanya hari itu belum bisa ambil. Besoknya belum ada kepastian.

Barulah dua hari kemudian, waktunya masih pagi, dia datang memasukkan umbi-umbi porang ke dalam karung. Hanya satu karung penuh. Tapi hari itu dia hanya masukkan ke dalam karung. Belum ditimbang.

Saat tengah hari, pedagang yang mau beli yang timbangannya katanya di Pangkep, pun datang mengendarai mobil pick up. Tepat di depan rumah ia singgah. Ibu tertawa melihatnya yang datang tidak terduga.

"Ai mauji pale datang baru tidak kasih kabar. Sudahmi kukasih pedagang lain. Baru tadi pagi nakasi karung," kata ibu.

"Iye tidak apa-apa. Lain kalipi lagi," kata pedagang itu.

Dia tidak sempat masuk ke rumah. Hanya di depan rumah. Tidak lama, dia pun pergi.

Sore hari, lagi-lagi porang dalam karung belum juga ditimbang. Begitupun keesokan harinya. Barulah dua hari kemudian pedagang itu datang menimbang.

Beratnya ternyata hanya 54 kilogram. Harganya Rp297.000. Lumayan hasil porang yang tidak dipelihara selama ini.

Setelah dijual, setengah harganya langsung dibelikan racun rumput. Sejak musim hujan, rumput di kebun tumbuh subur.

Menyemprot Rumput di Kebun

Dua botol racun Prima sudah tersedia. Saatnya menyemprot rumput yang mulai besar di kebun.

Karena sekarang musim hujan, cuaca kadang tak mendung seharian atau sekali hujan. Jika kondisi seperti ini, biasanya racun rumput tidak berfungsi dengan baik. Waktu yang tepat untuk menyemprot adalah jika cuaca panas.

Pagi itu cuaca tampak cerah. Langit membiru. Beberapa awan putih melayang di cakrawala. Tidak ada awan tebal hitam. Belum ada tanda-tanda hujan. Saatnya menyemprot.

Di gudang, sudah ada tangki semprot yang dapat menampung 15 liter air. Masih tangki manual. Terlebih dulu harus dipompa baru airnya bisa keluar.

Adapun takaran racun yang saya gunakan adalah 100 mililiter untuk air 15 liter.

Karena di kebun tidak ada sumur, sehingga saya harus mencampur racun dengan air di rumah. Lalu memikul tangki ke kebun dengan jarak sekitar 200 meter.

Pagi itu saya cukup ambil tiga tangki. Panas semakin terik. Bulir keringat di kepala dan badan bercucuran. Saya lelah. Istirahat. Saat ini saya tidak bisa tahan berlama-lama di bawah matahari yang cukup terik. Sakit kepalaku kadang kambuh.

Sore hari saya tidak menyemprot karena cuaca sudah mendung. Hujan pun turun. Setidaknya, jika racun yang sudah disemprotkan pada rumput itu mengering, sudah bisa berfungsi dengan baik.

Keesokan harinya, di waktu pagi, saya menyemprot lagi. Tangki, racun, dan takaran yang saya gunakan masih sama. Banyaknya juga hanya tiga tangki. Lalu saya istirahat.

Rumput yang saya semprot kemarin sudah pada layu dan mulai mengering. Warnanya berubah menjadi kecoklatan. Pertanda rumput itu akan segera mati.

Tanam Porang Lagi

Karena rumput sudah kering dan mati, saatnya saya tanam porang. Sejak musim hujan, cukup banyak tumbuh di kebun. Ada sudah besar, beberapa masih kecil. Jumlahnya banyak. Ada ratusan.

Porang yang baru tumbuh itulah saya cabut dan tanam lagi. Untuk mencabut porang kecil tidaklah sulit. Apalagi tanah yang basah karena selalu disiram air hujan.

Sementara untuk menanam kembali, saya menggunakan linggis. Terlebih dulu tanah saya lubangi pakai linggis. Kemudian memasukkan akarnya. Lalu menimbunnya lagi. Cara menanam cukup mudah. Dalam satu jam, saya bisa tanam 50 hingga 100 pohon.

Untuk jaraknya sendiri saya tidak punya panduan. Hanya memperkirakan saja. Kadang berjarak satu meter antara pohon satu dengan lainnya. Kadang juga hanya setengah meter.

Porang baru saja sudah saya tanam.
Porang baru saja sudah saya tanam.

Saya menanam porang pada sore hari setelah hujan. Antara waktu ashar dan magrib.

Pada waktu seperti inilah menurut kebiasaan petani terbaik untuk menanam. Beberapa alasannya agar tanaman tidak langsung ditimpa terik matahari. Sehingga tanaman baru lebih nyaman dalam proses beradaptasi dengan tanah baru. Selain itu, karena tanahnya baru saja dihujani, sehingga tidak perlu lagi disiram setelah ditanam.

Selama dua hari, saya baru menanam sekitar 300 pohon porang. Mulai yang kecil dengan tinggi batang 10 cm hingga yang cukup tinggi sekitar 40 cm.

Ini adalah pengalaman pertama kali saya panen dan menanam porang. Dulu, saya selalu sibuk menempuh pendidikan di ibukota provinsi. Begitupun saat bekerja, masih tetap di ibukota.

Manfaat Porang

Sebenarnya sudah lama saya melihat tanaman porang ini di kebun. Saya sendiri tidak mengetahui banyak tentang jenis tanaman umbi-umbian ini.

Di kebun, tumbuh begitu saja bak tanaman liar yang tidak dipelihara. Bahkan saya sering menebangnya. Karena tidak mengetahui manfaat tanaman ini.

Setelah saya mencari referensi di internet, ada banyak informasi bertebaran di mesin pencari tentang tanaman porang. Ternyata ada banyak sekali manfaatnya.

Melansir dari situs kompas.com, disebutkan kalau porang termasuk salah satu tanaman penghasil karbohidrat, lemak, protein, mineral, vitamin, dan serat pangan.

Dalam situs tersebut, setidaknya ada beberapa manfaat porang bagi kehidupan manusia diantaranya sebagai berikut.

Pertama sebagai bahan pangan. Porang menghasilkan karbohidrat lebih dari 80 persen. Sehingga dapat dijadikan sebagai bahan makanan pokok seperti beras dan mie. Nah, dua makanan ini menjadi favorit waktu ngekos dulu. Kalau tidak ada beras, yah makan indomie.

Kemudian manfaat lainnya seperti digunakan sebagai pengganti gel silikon untuk isolator listrik. Porang juga berfungsi sebagai pengental sirup dan perekat pada es krim sehingga tidak mudah meleleh. 

Selain itu, juga bisa digunakan sebagai pencampur berbagai produk kue, permen, jeli, dan selai. Di bidang kesehatan juga bermanfaat untuk mengurangi kadar kolestrol, bahan pengisi dan pengikat tablet, dan sebagainya.

Namun, dari berbagai manfaat tersebut, ternyata porang tidak bisa langsung dikonsumsi atau digunakan. Terlebih dulu melalui berbagai proses pengolahan.

Penutup

DMIKIAN cerita Cerita tentang Panen Porang, Beberapa Kali Tertunda Dijual, hingga manfaat tanaman ini. Terimakasih sudah membaca sampai selesai.

About the Author

Blogger pemula dari Makassar.

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di bawah ini dan bagikan pendapat Anda tentang artikel di atas.