SAYA lupa kapan terakhir kali ke Kampung Bonti, tanah kelahiran yang berlokasi di Balocci Baru, Kabupaten Pangkep. Mungkin sekitar 6 atau 7 tahun lalu.
Suasana masih pagi buta. Fajar mulai menyingsing saat nenek saya dari Tanetepanasa datang. Cukup lama menunggu, om, tante, dan sepupu saya juga datang dari Moncongloe. Titik kumpul adalah di rumah saya di Balocci, Tompobulu, Maros. Mereka saudara ibu saya. Satunya merantau di Palu, satunya di Mamuju.
Hari ini kami mudik ke tanah kelahiran. Tidak sepenuhnya tanah. Sebagian wilayah kampung ini adalah batu. Tempat dimana kakek nenek leluhur dilahirkan dan dimakamkan. Orangtua, saudara, termasuk saya juga lahir di kampung ini.
Pagi sekira pukul 07.00, kami sudah kumpul. Ada 17 orang. Lima diantaranya tidak ikut karena alasan tertentu: tidak bisa lagi jalan kaki mendaki gunung. Jadilah yang berangkat hanya 12 orang. Empat orang berboncengan. Dua motor. Selebihnya naik mobil pick up.
![]() |
Kampung Bonti. |
Kompas Membelah Gugusan Karst Maros-Pangkep
Waktunya berangkat. Tidak seperti biasa. Jalan yang kami lalui kali ini kompas. Tidak lewat jalan poros Maros-Pangkep yang ramai, kadang macet, dan banyak lampu merahnya. Kali ini, kami kompas membelah gugusan karst. Melewati beberapa tempat wisata.
Dari rumah saya di Balocci, jalan ke arah timur menuju Pucak, Masale, Ammarang, Simbang, hingga Bantimurung.
Saat tiba di jembatan Bendungan Batubassi, kami belok kiri. Kalau ke kanan sekitar satu kilometer dapat tempat wisata yang banyak kupu-kupunya: Air Terjun Bantimurung. Tapi itu bukan jalan ke Pangkep.
Kami belok kiri, tidak jauh, kami belok kanan lagi menuju ke arah Taman Arkeologi Leang-Leang yang diakui dunia lewat UNESCO Global Geopark. Tapi lagi-lagi wisata purbakala itu bukan tujuan. Kami hanya lewat di depan gerbangnya.
Baca Juga: Menikmati Weekend di Karst Leang-leang Maros
Sepanjang perjalanan, kami disuguhkan pemandangan yang sangat memukau. Sawah luas yang di tepinya berdiri kokoh gugusan batu karst menjulang membuat mata enggan terpejam. Kepala melirik kiri kanan. Laju kendaraan kadang diperlambat hanya untuk menikmati pemandangan dalam perjalanan.
Di sawah, sebagian petani mulai menggarap ulang sawahnya. Ada yang sudah ditanami padi. Ada sudah menguning. Sebagian pun sudah disabit atau dipanen. Petani menjemur padinya di pinggir jalan. Nyaris seperdua dari aspal digunakan untuk menjemur padi.
Tidak jauh dari Taman Arkeologi Leang-Leang, kami mulai menanjak. Menembus jalanan yang membelah kerasnya batu karst. Suasananya sangat sejuk. Pohon tumbuh cukup lebat. Sekalipun itu di sela-sela batu.
Hanya beberapa menit saja, jalanan menanjak itu terlewati. Itulah batas antara Maros dan Pangkep. Dibalik gunung itu sudah masuk wilayah Kelurahan Balleanging, Kecamatan Balocci Pangkep.
Di kelurahan ini terdapat sebuah wisata yang juga sangat menarik: Taman Batu Balocci. Meski hanya batu, tapi susunannya yang menarik seperti taman. Ini menjadi salah satu wisata favorit di Kecamatan Balleanging.
Baca Juga: Eksotis Taman Batu Karst Balocci, Wisata Alam di Sulsel
Tapi lagi-lagi, wisata bukan tujuan utama. Kami ingin mudik ke tanah kelahiran. Hanya saja memang melewati beberapa tempat wisata yang salah satunya diakui dunia itu. Semuanya berada di tengah-tengah sawah yang pinggirannya berdiri gugusan batu karst.
Setelah melewati wilayah tersebut, akhirnya dapat jalan poros menuju Bulusaraung. Tapi lagi-lagi mendaki Bulusaraung bukan tujuan utama. Yah meskipun tujuan kami di Kampung Bonti juga mendaki gunung.
Dari arah Taman Batu, hanya sedikit belok kanan lalu belok kiri ke Jl Pendidikan. Sekitar satu kilometer, akhirnya tiba di ujung aspal. Nama tempatnya: Betta-Betta.
Sepanjang perjalanan dari Maros sampai Pangkep, tak ada satupun kami dapat lampu lalu lintas. Apalagi orang baju cokelat yang sering memantau pengendara yang melanggar lintas. Tidak pakai helm pun 'aman' dari pantauan polisi. Tapi kami semua yang naik sepeda motor tetap pakai helm. Karena fungsi utama helm untuk keamanan dan keselamatan berkendara, bukan semata agar tidak ditahan polisi.
Mobil dan sepeda motor disimpan di ujung aspal Betta-Betta. Kemudian perjalanan kaki pun dimulai.
Nyaris 2 Jam Jalan Kaki Mendaki Gunung Batu
Awal start sudah langsung disuguhi jalanan yang menanjak. Nyaris dikemiringan 60 derajat. Semuanya batu. Di sisi kiri tebing batu. Di sisi kanan jurang yang juga bebatuan.
Meski batu, pohon kayu tumbuh begitu rindang. Suasana sejuk. Sinar matahari terhalau oleh rimbunnya dedaunan. Angin bertiup sepoi-sepoi. Meniup bulir keringat yang keluar dari pori-pori tubuh. Rasanya begitu adem di kulit.
![]() |
Perjalanan menuju Kampung Bonti. |
![]() |
Perjalanan menuju Kampung Bonti. |
![]() |
Istrahat dalam perjalanan. |
Jantung berdetak lebih kencang. Keringat makin banyak. Kaki terus melangkah. Terus mendaki.
Saya melepas jaket. Om dan sepupu saya yang laki-laki bahkan melepas baju. Membiarkan angin meniup langsung badannya.
Kami terus melangkah. Masih mendaki. Hingga tiba pada puncak. Ada banyak batu terususun rapi. Sangat nyaman ditempati duduk untuk istirahat.
Di puncak, terdapat batu menggantung di atas kepala. Juga beberapa air yang terus berjatuhan seperti air hujan dari batu yang menggantung itu. Di tempat ini, angin berhembus lebih kencang lagi. Adem sekali rasanya istrahat di tempat ini setelah hampir satu jam mendaki. Keringat sudah bercucuran.
Kami duduk sejenak. Minum. Kemudian lanjut lagi perjalanan. Kali ini tidak lagi mendaki. Sebaliknya, jalanan mulai curam. Sesekali dapat jalanan datar.
Baca Juga: Kampung Bonti dan Para Perantaunya
Jarak tempuh perjalanan digunung sekitar 3 km dengan waktu tempuh lebih satu jam. Hampir dua jam. Hingga akhirnya kami melihat sebuah kampung. Melihat rumah nenek -tempat saya dilahirkan- yang sudah mulai lapuk. Tidak ada lagi yang tinggal di rumah ini.
Melepas Rindu Sanak Saudara
Sebelum memasuki kampung, ada sebuah sungai. Di atasnya jembatan. Itulah yang kami lewati. Air sungainya sangat jernih. Di bawahnya penuh dengan bebatuan.
Rumah pertama yang didapat adalah rumah nenek saya. Berada di sebelah kanan. Di depannya ada dua rumah bakusamping. Yang pertama sepi. Pintunya tertutup.
Sementara di sebelah kanan cukup ramai. Mereka yang duduk di teras rumah meneriaki kami. Memanggil singgah. Beberapa orang juga kami temui di jalan. Di depan rumah itu. Beberapa masih saya ingat. Lainnya tidak. Tapi ibu saya masih mengenal mereka semua.
Kami salaman. Minal aidzin wal faidzin. Yang perempuan berpelukan. Saling memaafkan. Saling melepas rindu.
![]() |
Bertemu sanak saudara. |
Setelah saling bersalaman bermaaf-maafan, kami lanjut pergi ziarah kubur. Matahari sudah makin terik. Lokasi kuburan kakek cukup jauh di tengah sawah.
Dalam perjalanan di kampung itu, kami melewati beberapa rumah. Semuanya sepi. Beberapa rumah hanya ada anak kecil yang sedang duduk di teras memandang kami yang mungkin terasa asing bagi mereka.
Sekitar 20-an rumah kami lewati. Saatnya memasuki sawah. Sepanjang mata memandang ke depan, hanya ada sawah. Di tengah ada sungai membelah. Sementara di tepi sawah berdiri gunung batu, gugusan karst.
Ternyata di sawah lebih ramai daripada di perumahan kampung. Masyarakat sedang sibuk panen padi. Sebagian sudah menjemur padinya, lainnya masih sementara menyabit.
![]() |
Bertemu petani di sawah. |
Lagi dan lagi, nyaris saya tidak mengenali lagi wajah-wajah penduduk kampung. Kalau disebut namanya, sedikit demi sedikit saya masih ingat. Hanya ibu, nenek, om, dan tante saya yang masih mengenali dengan jelas.
Seperti saat memasuki kampung di awal tadi, kami juga saling bersalaman, saling memaafkan di tengah-tengah sawah. Para petani sejenak berhenti dari pekerjaannya bertemu kami.
Hanya sejenak ngobrol dengan para petani itu yang masih masuk dalam sanak saudara, kami lanjut lagi berjalan di pematang sawah. Sesekali melewati sungai. Hingga tiba di tepi sawah jalan masuk ke kuburan. Di antaranya ada sungai yang membatasi.
Di kuburan ternyata lebih ramai lagi. Ada begitu banyak bapak-bapak hingga remaja di salah satu kuburan. Jumlahnya mungkin sekitar 20-an orang.
Awalnya saya mengira ada orang meninggal dan baru saja dikuburkan. Ternyata tidak. Mereka baru saja selesai memperbaiki kuburan sanak saudara kami yang baru meninggal beberapa bulan lalu. Kuburannya disemen.
Ternyata rumah di awal yang ramai tadi itu sedang mengadakan acara untuk mengingat almarhum sekaligus memperbaiki makamnya. Pantas saja rumah-rumah penduduk yang kami lewati sepi. Karena sebagian di sawah panen, ada di kuburan, selebihnya di rumah acara.
Setelah dari ziarah kubur, terlebih dulu ke rumah sanak saudara nenek. Ternyata mereka juga pergi ke sawah. Tak ingin mengganggu mereka yang di sawah, kami hanya istrahat sejenak di rumahnya. Bermain dengan anak cucunya yang masih kecil tinggal jaga rumah. Sebenarnya bukan jaga rumah, tapi sengaja tidak diajak ke sawah agar tidak merepotkan orang yang sedang bekerja.
Tidak lama kemudian, kami pindah lagi. Kali ini tujuan terakhir sebelum pulang: singgah silaturahmi di tempat acara tadi. Di sinilah penduduk ramai berkumpul.
Di momen inilah kami bertemu dengan sanak saudara yang telah lama tidak bertemu. Ada lima tahun. 10 tahun. 20 tahun. Bahkan lebih. Baru bertemu lagi. Ada yang melihat saya hanya waktu saya kecil. Kalau ini saya sudah tidak ingat. Bahkan mengenalnya juga tidak.
Cuman karena ibu saya mengenalnya. Ditanyakan anaknya. Saya pun memperkenalkan diri. Langsung akrab.
Sebagian saya mengenalnya di perantauan. Pernah ke rumahnya. Dan sama-sama kembali ke kampung. Eh ketemu lagi di kampung halaman masing-masing.
Pada momen inilah kami kembali bertemu. Mengenang masa lalu. Baik buruk perilaku di masa kecil jadi bahan canda tawa di usia dewasa.
Sebelum pulang, terlebih dulu makan di acara itu. Ada daging, nasi, rujak, soup, mie goreng, hingga kerupuk. Tidak ketinggalan kue pencuci mulut setelah makan. Setidaknya ini menambah tenaga untuk kembali jalan kaki melintasi gunung batu Kampung Bonti.
Sekian cerita perjalanan mudik kami ke Kampung Bonti. Terimakasih sudah membaca sampai selesai. Salam.